selamat datang di blog saya

Inilah bahan ajar yang mempertimbangkan kreatifitas peserta didik untuk keberhasilan proses belajar mengajar.

Kamis, 02 September 2010

kualitas pendidikan IPA di era global;isasi

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan antara tuntutan dan
kondisi nyata berkaitan dengan kualitas pendidikan IPA dewasa ini. Kesenjangan
tersebut meliputi lima hal: (1) kualitas pembelajaran IPA di sekolah dan tuntutan era
global abad 21; (2) kualitas guru IPA kini dan masa depan; (3) pembekalan
keterampilan mengajar di LPTK dan praktik pembelajaran IPA di sekolah; (4)
keterampilan calon guru mengajar IPA dan standar kompetensi guru IPA; dan (5)
prinsip bimbingan dan layanan bimbingan praktik mengajar bagi calon guru.
1. Kualitas Pembelajaran IPA di Sekolah dan Tuntutan Era Global Abad 21
Menurut pandangan para futurolog, salah satu karakteristik masyarakat abad
millenium ke-tiga dewasa ini adalah masyarakat teknologi, yang ditandai dengan
bergesernya bentuk dan cara hidup manusia sebagai dampak dari pesatnya kemajuan
teknologi. Dunia saat ini sedang mengalami proses transformasi sosial ekonomi,
politik, dan budaya secara kait mengait menjadi tanpa batas (Tilaar, 1998: 281).
Munculnya fenomena ketakutan sekaligus pemujaan terhadap teknologi merupakan
gambaran karakteristik masyarakat abad 21 yang tengah berada dalam “zona mabuk
teknologi” (Naisbitt & Aburdene, 2001: 23). Teknologi yang berkembang pesat ke
bidang-bidang lain seperti pertanian, kedokteran, peternakan, farmasi, kehutanan,
termasuk bidang pendidikan, mengantarkan kehidupan masyarakat dunia pada tingkat
persaingan global dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) berkualitas “unggul”

sebagai salah satu kriteria yang dipersyaratkan. SDM saat ini dan masa-masa
mendatang seyogianya memiliki karakteristik profesional, kompetitif, interdisipliner
dan berbudaya (Sukirman 2001). Problema kehidupan sehari-hari dalam masyarakat
yang hidup di tengah pesatnya perkembangan sains dan teknologi semakin kompleks,
sehingga pemecahan masalah yang muncul memerlukan dukungan berbagai informasi
ilmiah. Agar setiap individu memiliki peluang untuk beradaptasi dengan dinamika
kehidupan masyarakat global, maka pendidikan masa depan seyogianya
mengedepankan literasi sains. Parkay (1998:444) menyatakan bahwa salah satu
kebutuhan peserta didik untuk beradaptasi dengan pesatnya perkembangan teknologi
adalah melek bahasa, matematika, dan sains (literacy in language, mathematics, and
science). Begitu pentingnya literasi sains, Carin (1997:4) menyatakan bahwa untuk
mengantisipasi kemajuan teknologi abad ke-21, kepada setiap warganegara perlu
diberikan pembekalan khusus tentang sains dan teknologi. Dengan demikian bekal
literasi sains menjadi suatu kebutuhan bagi setiap individu dalam berkompetisi secara
global. Pendidikan masa depan harus diarahkan untuk membekali peserta didik
dengan kecakapan hidup dan kehidupan (life skills) yang secara integratif memadukan
potensi generik dan spesifik guna memecahkan dan mengatasi problema kehidupan
(Depdiknas, 2001). Pendidikan masa depan harus dapat mengembangkan kemampuan
berpikir dan kecakapan hidup, sehingga mampu survive secara produktif (Nasoetion,
2000).
Biologi sebagai bagian integral dari IPA dengan karakteristik ilmunya yang
khas, baik ditinjau dari lingkup cakupan materi maupun proses berpikirnya, memiliki
peran yang strategis bagi pembentukan karakter peserta didik. Materi kajian biologi

meliputi sosiologi dan psikologi makhluk hidup serta lingkungan alam semesta,
membutuhkan cara berpikir logis, analitis, kritis, dan kombinatorial untuk
mempelajarinya (Rustaman, 2000). Metode ilmiah dalam biologi dapat merangsang
munculnya penemuan-penemuan baru dan secara nyata telah memberi pengaruh
terhadap kemajuan teknologi sebagai “jembatan emas” bagi perkembangan ilmu
pengetahuan teknologi (Achmadi dkk., 1991:105). Biologi juga dapat mendorong
terjadinya perubahan cara berpikir dan perilaku individu sehingga melalui
pembelajaran biologi yang berkualitas diharapkan akan lahir generasi unggul secara
intelektual, anggun secara moral, dan kompeten menguasai teknologi, sesuai dengan
prinsip-prinsip pendidikan yang tertuang dalam Tujuan Pendidikan Nasional
(Soeprodjo, 2000:3).
Dalam rangka mengantisipasi tuntutan tersebut di atas, pendidikan IPA
seyogianya diarahkan untuk mengembangkan individu-individu yang melek sains
(scientific literacy) yang meliputi pengetahuan tentang usaha ilmiah dan aspek-aspek
fundamental tentang konsep, prinsip, serta keterampilan ilmiah untuk memecahkan
masalah sehari-hari dan dalam pengambilan keputusan (Amin, 1997). Dalam hal ini
Buchori (2000) menyatakan bahwa menciptakan masyarakat yang menguasai
teknologi inovatif baik di bidang produksi maupun konsumsi, hanya dapat
diwujudkan apabila kepada mereka diberikan dasar kemampuan IPA yang mencukupi
meliputi kemampuan: kognitif, keterampilan, sikap atau nilai-nilai. Berkaitan dengan
hal tersebut Abruscato (1982:19) menyatakan bahwa tujuan khusus pendidikan sains
harus mencakup tiga domain yang meliputi: kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pembelajaran IPA biologi melalui pengembangan ranah kognitif (cognitive domain),

yaitu melalui fakta, konsep, prinsip, dan proses-proses sains. Pembelajaran IPA
biologi melalui pengembangan ranah afektif (affective domain), yaitu melalui
penerapan nilai-nilai seperti: pembuktian kebenaran, kebebasan berpendapat dan
mengemukakan ide-ide, adanya sikap keragu-raguan terhadap suatu hal, orijinalitas
gagasan, kepatuhan terhadap suatu perintah, dan komunikasi. Pembelajaran IPA
biologi melalui pengembangan ranah psikomotor (psychomotoric domain), yaitu
melalui keterampilan ilmiah yang dapat memberi peluang untuk memperhalus
keterampilan motorik siswa. Dalam hal ini Rustaman (2003) mengemukakan bahwa
dalam pembelajaran biologi seyogianya lebih ditekankan pada keterampilan proses,
sebab melalui keterampilan proses selain dapat dikembangkan keterampilan
intelektual (berpikir) juga dapat dikembangkan keterampilan psikomotor seperti:
menggunakan alat dan bahan, mengukur, dan menyusun atau merakit alat) serta
keterampilan sosial (interaksi antarpeserta didik). Menurut para pakar pendidikan dan
Abruscato (1982) pengembangan ketiga domain tersebut selain dapat meningkatkan
kreativitas dan kemampuan berpikir kritis, juga dapat meningkatkan pemahaman
siswa terhadap keterkaitan antara sains dengan masyarakat yang menjadi tujuan
umum dalam pembelajaran sains. Hal tersebut didukung oleh pendapat Soedijarto
(1993:53) yang menyatakan bahwa jika ingin menghasilkan generasi yang terdidik
dan berkualitas, maka pendidikan sains tidak boleh hanya dipandang sebagai transfer
pengetahuan dari guru kepada peserta didik semata melainkan merupakan proses
konstruksi pengetahuan (sains) melalui aktivitas berpikir anak.
Meskipun secara konseptual tujuan pembelajaran IPA biologi tersebut di
atas sangat ideal bagi pengembangan domain kognitif, afektif, dan psikomotor peserta

didik, tetapi dalam implementasinya masih mengalami banyak kendala. Dewasa ini
indikator rendahnya kualitas pembelajaran IPA makin terasa, bahkan dalam dekade
terakhir fenomena tersebut telah memunculkan kritikan-kritikan pedas dari berbagai
pihak seperti: sekolah, orang tua, maupun masyarakat. Hal tersebut wajar, sebab pada
hakikatnya masyarakat sebagai pihak pengguna (user) dari guru IPA di sekolah.
Indikasi rendahnya kualitas pembelajaran IPA dewasa ini dapat dilihat dari empat
aspek.
Pertama, rendahnya hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPA
menunjukkan bahwa pengembangan domain kognitif di kalangan peserta didik belum
optimal. Data Puslitbang Depdikbud (2000) menunjukkan bahwa dari tahun pelajaran
1994/1995 sampai dengan 2000/2001 rata-rata Nilai Ebtanas Murni (NEM) Nasional
jenjang sekolah menengah umum (SMU) dalam bidang IPA lebih rendah daripada
mata pelajaran lain (PPKn, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris), bahkan terjadi
kecenderungan penurunan terutama pada mata pelajaran fisika. Perolehan rata-rata
NEM untuk mata pelajaran biologi paling rendah adalah 3,17 dan paling tinggi 6,66,
sedangkan untuk mata pelajaran fisika paling rendah adalah 2,71 dan paling tinggi
6,47. Khusus untuk Jawa Barat, perolehan nilai evaluasi belajar tahap akhir nasional
(EBTANAS) untuk mata pelajaran IPA SLTP selama enam tahun (1991/1992 sampai
1996/1997) relatif rendah, secara berturut-turut 3,7; 4,11; 4,28; 3,87; 4,21; 3,19 (Sidi,
2000). Rendahnya kualitas pembelajaran IPA khususnya mata pelajaran biologi tidak
hanya terlihat dari hasil NEM siswa saja, tetapi juga tampak dari rendahnya prestasi
siswa Indonesia dalam bidang IPA di forum internasional. Berdasarkan data dari The
Third International Mathematics and Science Study Report, rata-rata prestasi

Indonesia di bidang IPA berada pada urutan ke 32 dari 38 negara (TIMSS, 2000),
menurut Programme for International Student Assessment untuk literasi sains, pada
tahun 2001 Indonesia berada pada urutan ke 38 dari 41 negara (PISA, 2003).
Sementara ditinjau dari prestasi akademis di tingkat Internasional, prestasi siswa di
bidang IPA juga belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Berdasarkan data
proyek wawasan keilmuan dan lomba-lomba di Depdiknas (Zamroni, 2001)
menunjukkan bahwa hingga tahun 2001 Indonesia baru memperoleh satu medali
perunggu dalam International Biology Olympiad (IBO) dan lima medali (2 perak dan
3 perunggu) dalam International Physics Olympiad (IPhO).
Kedua, rendahnya apresiasi siswa terhadap mata pelajaran IPA. Kurangnya
minat siswa di bidang biologi, rendahnya kepedulian siswa terhadap kebersihan dan
kelestarian lingkungan, tingginya persentase angka kekurangan gizi pada remaja dan
anak-anak, serta rendahnya kesadaran pemanfaatan lahan pekarangan rumah sebagai
partisipasi aktif bagi upaya pemenuhan gizi keluarga dan penghijauan lingkungan,
merupakan indikator bahwa penerapan nilai-nilai sains melalui apresiasi sains relatif
rendah. Hal tersebut dikarenakan adanya kecenderungan IPA tidak diajarkan sebagai
suatu proses melainkan hanya sebagai produk, akibatnya pembelajaran IPA terkesan
“kering” dan tanpa makna. Kondisi tersebut dapat menimbulkan kesan buruk
terhadap mata pelajaran IPA biologi di kalangan peserta didik. Dalam hal ini Sumaji
(1998:42) menyatakan: “Tampaknya kurangnya perhatian terhadap ranah afektif
dapat menghasilkan hal-hal yang tak diinginkan, para siswa seringkali kehilangan
minat terhadap sains.”

Ketiga, kurangnya pengembangan keterampilan proses IPA pada peserta didik
sehingga keterampilan memecahkan permasalahan biologi dalam kehidupan seharihari
rendah. Hasil penelitian Rustaman, dkk. (2003) menunjukkan bahwa
keterampilan ilmiah dalam pembelajaran biologi seperti: mengamati,
mengelompokkan, mengkomunikasikan data, menafsirkan, mengajukan pertanyaan,
menerapkan konsep, dan melakukan percobaan belum banyak dilaksanakan di
sekolah. Data hasil studi efektivitas penggunaan alat IPA yang dilakukan Depdiknas
melalui proyek Bank Dunia tahun anggaran 1994/1995 (Nur, 1995) menunjukkan
kemampuan keterampilan proses siswa khususnya di tingkat SMU relatif rendah
(18%). Hal tersebut didukung oleh data hasil evaluasi terhadap pemberdayaan
laboratorium IPA SMU yang dilakukan Inspektorat Jenderal Depdiknas (1998) selain
menunjukkan hasil yang juga relatif rendah (42%), pembelajaran IPA kurang
berorientasi pada eksperimen melainkan cenderung menggunakan metode ceramah,
diskusi, dan penyelesaian soal-soal. Hasil evaluasi Balitbang Puskur Depdiknas
(2001) juga menunjukkan pelaksanaan pembelajaran IPA selama ini lebih
menekankan pada penguasaan sejumlah fakta dan konsep (sains sebagai produk) dan
kurang menekankan pada penguasaan kemampuan dasar. Hal tersebut di atas
selanjutnya dijadikan dasar pengembangan kurikulum ke arah pembelajaran yang
menekankan pada keseimbangan peningkatan kemampuan konseptual dan prosedural
yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Hasil studi lain yang
mendukung data tersebut di atas adalah hasil penelitian Sriyono & Hamid (2003)
yang menunjukkan bahwa frekuensi penggunaan laboratorium dalam pembelajaran
IPA relatif kurang, mayoritas (77%) guru IPA mengajar dengan metode ceramah.

Bertolak dari adanya kesenjangan antara tuntutan kualitas pembelajaran IPA masa
depan yang berorientasi pada proses, produk, dan aplikasinya dalam kehidupan
sehari-hari dengan kondisi kualitas pembelajaran IPA di sekolah yang cenderung
lebih menekankan pada produk IPA, maka perlu dilakukan langkah-langkah
perbaikan pendidikan IPA ke arah peningkatan kualitas pembelajaran IPA khususnya
pada mata pelajaran biologi dalam upaya menghasilkan Sumber Daya Manusia
(SDM) unggul era global abad 21.
2. Kualitas Guru IPA Kini dan Masa Depan
Prestasi belajar siswa di bidang kognitif, afektif, dan psikomotor merupakan
refleksi dari keberhasilan guru selama berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar
mengajar. Untuk mewujudkan pembelajaran IPA biologi yang berkualitas perlu
didukung oleh guru yang berkualitas, sebab guru merupakan faktor kunci dalam
melakukan reformasi pendidikan (Suyanto, 2000:16). Dalam hal ini Lockeed &
Verspoor (1991) menegaskan bahwa “Teachers are central to the delivery as well as
the quality of education”. Efektifitas perlakuan guru akan menentukan usaha belajar
yang dilakukan siswa (Sukmadinata, 2000:196).
Tilaar (1998:292) menggambarkan profil guru (IPA) Indonesia abad 21
seyogianya memiliki empat kriteria diantaranya: 1) memiliki dasar ilmu pengetahuan
dan teknologi yang kuat; 2) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang
(mature and developing personality); 3) menguasai keterampilan metodologis untuk
membangkitkan minat peserta didik; dan 4) senantiasa mengembangkan profesinya
secara berkesinambungan. Hal tersebut bukan sesuatu yang berlebihan mengingat
peran guru (IPA) masa depan cukup berat, karena harus mampu menegakkan empat

pilar yang menjadi dasar dalam belajar seperti yang dicanangkan oleh UNESCO
yaitu: learning to think, learning to do, learning to be, learning to live together.
Menurut Amin (1997) guru IPA yang baik mampu dan memahami pendekatanpendekatan
yang dapat digunakan untuk membantu siswanya mengembangkan
keterampilan ilmiah. Cormack & Yager (Carin, 1997:24) mengemukakan: “There are
five categories of sciencing to help students become scientifically and technologically
literate: knowing and understanding, exploring and discovering, imagining and
creating, feeling and valuing, and using and applying”. Oleh karenanya, guru IPA
tidak hanya dituntut untuk memahami produk sains (konsep, prinsip, teori, hukum)
melainkan juga dituntut untuk memahami proses sains (Hauvelen, 2001; Puskur,
2001).
Mc.Dermot (1990) menyatakan bahwa persyaratan yang harus dimiliki oleh
(calon) guru IPA sebagai pengajaran yang efektif, selain memahami konsep-konsep
penting IPA dan representasinya. CG dituntut untuk mampu melakukan penalaran
sebagai dasar bagi pengembangan dan penerapan konsep-konsep dan representasi
tersebut. Menurut Lawson (1995) untuk menjadi guru IPA yang profesional tidak
cukup hanya memiliki pengetahuan deklaratif sebagai produk ilmiah meliputi: teori,
fakta, konsep IPA saja, tetapi juga memiliki pengetahuan tentang proses ilmiah
(pengetahuan prosedural). Melalui proses ilmiah calon guru memperoleh kesempatan
untuk memikirkan dan mengeksplorasi gejala, menciptakan penjelasan sementara
(hipothesis), memikirkan cara pengujian hipothesis, mengumpulkan data melalui
pengamatan dan pengukuran, dan membandingkan data atau fakta dengan
konsekuensi deduktif yang dijabarkan dari hipothesis, dan penerapannya dalam

kehidupan sehari-hari. Hal tersebut relevan dengan pernyataan Shulman (Ball & Mc.
Diarmid, 1990) bahwa ada tiga kategori pengetahuan yang harus dikuasai oleh calon
guru meliputi: pengetahuan materi subyek (subject-matter knowledge); pengetahuan
konten pedagogis (pedagogical content knowledge); dan pengetahuan kurikulum
(curricular knowledge). Keterampilan semacam itu hanya dapat diperoleh, jika
kepada calon guru IPA diberikan pembekalan teori dan praktis melalui latihan-latihan
pengajaran IPA berbasis keterampilan ilmiah (National Academy of Sciences, 1998).
Idealnya guru bidang studi IPA memenuhi standar kualitas mengajar IPA yang
memadai baik ditinjau dari kelayakan mengajar, strategi mengajar, maupun
prestasinya dalam penelitian di bidang pembelajaran IPA.
Meski hal tersebut di atas merupakan gambaran ideal sosok guru IPA yang
diharapkan, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa secara umum kualitas
guru-guru IPA masih perlu ditingkatkan. Hasil uji kompetensi keprofesionalan guru
SMU bidang studi IPA Kanwil Depdiknas Jakarta (1999) menunjukkan bahwa nilai
rata-rata pemahaman guru terhadap perangkat kurikulum dan perangkat pembelajaran
IPA relatif rendah yaitu 4,23 untuk biologi dan 4,34 untuk fisika. Nilai rata-rata
pemahaman guru terhadap soal EBTANAS SMU kelas I/II/III berturut-turut adalah
5,50/5,49/4,91 untuk biologi dan 5,20/4,22/4,44 untuk fisika. Secara umum
kompetensi keprofesionalan guru SMU bidang studi IPA termasuk kategori kurang
(4,99). Nilai rata-rata pemahaman guru terhadap materi kurikulum 1994 untuk mata
pelajaran biologi jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan SMU berturutturut
adalah 57%/72,7% dan 55%/51,4% untuk mata pelajaran fisika (Depdiknas,
1996). Sementara hasil studi akreditasi kinerja guru IPA SMU yang dilakukan oleh

Kanwil Depdiknas (2000) menunjukkan nilai rata-rata pemahaman guru terhadap
materi kurikulum 1994 untuk mata pelajaran biologi kelas I/II/III berturut-turut
adalah 87%/75%/71% dan untuk mata pelajaran fisika kelas I/II/III berturut-turut
adalah 84%/65%/65%, sementara standar standar minimal profesionalisme guru yang
ditetapkan adalah 90%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemahaman guru
terhadap materi kurikulum belum mencapai standar yang ditetapkan dan
peningkatannya perlu segera diupayakan. Ditinjau dari kemampuan guru dalam
keterampilan proses IPA juga relatif rendah yaitu hanya mencapai 28% (Nur, 1999).
Gambaran kondisi kelayakan guru IPA berdasarkan golongan dan kepangkatannya,
serta kondisi guru IPA berdasarkan kesesuaian antara latar belakang pendidikan
dengan bidang studi yang diajarkan, diilustrasikan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Persentase Jumlah Guru IPA SMUN Se-Indonesia
Berdasarkan Aspek Kelayakan dan Kesesuaian Mengajar
No. Aspek Kelayakan Mengajar %
1. Layak a. Sesuai bidang studi 69
b.Tidak sesuai bidang studi 15
2. Tak layak a. Sesuai bidang studi 13
b. Tidak sesuai bidang studi 3
Sumber: Puslitbang Balitbang Depdikbud (1996).
Lajur 1 pada Tabel 1.1 menunjukkan bahwa ditinjau dari golongan dan
kepangkatannya, sebagian besar guru IPA sudah memiliki kelayakan mengajar.
Meski dari jumlah tersebut sebagian besar guru IPA sudah mengajar sesuai dengan
latar belakang pendidikannya, tetapi masih terdapat sebagian kecil yang tidak

memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang studi yang diajarkan. Lajur
2 menunjukkan bahwa terdapat guru IPA yang tidak memiliki kelayakan mengajar
ditinjau dari golongan dan kepangkatannya. Bahkan yang lebih memprihatinkan
masih terdapat guru IPA yang selain tidak memiliki kelayakan mengajar, latar
belakang pendidikannya tidak sesuai dengan bidang studi yang diajarkan. Jika
demikian kondisinya, dapat dibayangkan bagaimana hasil belajar siswanya.
Dari data di atas terdapat dua kondisi yang berbeda berkaitan dengan kondisi
kelayakan dan kesesuaian guru IPA, meski dengan jumlah persentase yang hampir
berimbang. (1) guru IPA yang memiliki kelayakan mengajar tetapi pendidikannya
tidak sesuai dengan bidang studi yang diajarkan; dan (2) guru IPA yang tidak
memiliki kelayakan mengajar tetapi pendidikannya sesuai dengan bidang studi yang
diajarkan. Kedua kondisi guru IPA tersebut dapat mempengaruhi kualitas
pembelajaran IPA, tetapi menurut peneliti kondisi yang terakhir sedikit lebih baik
dibandingkan dengan kondisi pertama, sebab penguasaan konsep-konsep sains, sikap
sebagai saintis (seperti: jujur, terbuka, tekun) serta penguasaan sejumlah keterampilan
proses IPA (meliputi: observasi, interpretasi, klasifikasi, prediksi, berkomunikasi,
berhipotesis, merancang percobaan, menerapkan konsep, dan mengajukan
pertanyaan) hanya terdapat pada guru IPA yang memiliki latar belakang pendidikan
IPA. Oleh karenanya peneliti memandang bahwa kesesuaian latar belakang
pendidikan dengan bidang studi yang diajarkan lebih dapat memberikan kontribusi
bagi keberhasilan pembelajaran dibandingkan dengan kelayakan mengajar ditinjau
dari golongan dan kepangkatan guru. Oleh karenanya kondisi tersebut perlu segera

dicari solusinya, sebab dapat menghambat perkembangan pendidikan IPA pada
umumnya dan bagi kemajuan pembelajaran biologi khususnya.
Dikaitkan dengan strategi mengajar yang digunakan guru IPA dewasa ini,
Sularto (1998:5) mengatakan bahwa pengajar IPA cenderung kurang mampu
menggairahkan pelajar sehingga siswa menjadi kurang tertarik terhadap mata
pelajaran IPA. Hal tersebut didukung oleh temuan hasil studi efektivitas penggunaan
alat IPA yang dilakukan oleh Depdiknas (1998) dan Supriadi (1998) bahwa
pembelajaran IPA cenderung menggunakan metode ceramah, diskusi, dan
penyelesaian soal-soal daripada menggunakan metode eksperimen atau demonstrasi,
akibatnya pembelajaran bersifat teoritis dan kurang menarik siswa. Ditinjau dari
prestasi guru IPA, sejauh ini belum menunjukkan hasil yang menonjol. Data dari
Indonesia Toray Science Foundation menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 1977
guru IPA Indonesia yang berhasil memperoleh penghargaan di bidang sains di tingkat
internasional baru 10 orang, yaitu tiga guru biologi dan tujuh guru fisika (ITSF,
1999). Menurut Zamroni (2001) hal tersebut mengindikasikan bahwa pengembangan
kreativitas dan inovasi pemanfaatan teknologi sederhana (lokal/lingkungan) dalam
pembelajaran IPA relatif rendah. Ditinjau dari peringkat indeks pembangunan
manusia, Indonesia berada pada urutan ke 109 dari 174 negara (Human Development
Index, 2000). Ditinjau dari daya saing ekonomi, Indonesia berada pada peringkat 44
dari 59 negara (DSE, 2000). Hasil penelitian Political and Economic Risk
Consultancy, Indonesia berada pada peringkat ke-12 dari 12 negara peserta (PERC,
2001), dan hasil studi Institute for Management Development, Indonesia berada pada
peringkat ke- 49 dari 49 negara peserta (IMD, 2001). Dengan demikian diprediksi

bahwa rendahnya kualitas SDM Indonesia dewasa ini merupakan dampak jangka
panjang dari rendahnya kualitas pendidikan masa lalu termasuk salah satu diantaranya
buruknya kualitas pembelajaran IPA. Berbagai upaya perbaikan kualitas guru IPA di
semua jenjang telah diupayakan oleh pemerintah seperti kegiatann penataran atau
workshop. Salah satu temuan hasil evaluasi sumatif kegiatan pemantapan kerja guru
(PKG) menunjukkan bahwa para guru yang telah mengikuti pelatihan umumnya
kembali mengajar dengan cara lama (ceramah dan penyelesaian soal-soal), sebab
pembelajaran berorientasi pada soal-soal EBTANAS maupun soal ujian masuk
perguruan tinggi negeri (UMPTN) yang cenderung kurang berkiblat pada metode
eksperimen (Wilardjo, 1998). Hasil evaluasi pelatihan pembuatan alat praktik IPA
sederhana juga menunjukkan hanya 28% guru yang menggunakan alat-alat praktik
dalam pembelajaran IPA secara efektif (Supriadi, 1998). Oleh karenanya perlu upayaupaya
alternatif sebagai terobosan dalam perbaikan kualitas guru IPA. Hasil
pengalaman memperlihatkan bahwa efektivitas upaya perbaikan mutu pendidikan
IPA biologi rendah manakala diarahkaan pada guru-guru yang telah mengajar secara
tetap di sekolah dengan pola mengajar yang monoton, sehingga sulit untuk dilakukan
perubahan atau penyesuaian lebih-lebih jika telah bertahun-tahun mengajar.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa adanya kesenjangan
antara tuntutan sosok guru IPA masa depan yang kompeten dan profesional dengan
rendahnya kualitas guru IPA di sekolah dewasa ini, menuntut untuk dilakukan upaya
perbaikan kualitas SDM pendidikan IPA biologi. Upaya tersebut diprediksi menjadi
lebih efektif manakala diarahkan pada perbaikan mutu keterampilan mengajar calon
guru di LPTK yang berada pada tingkat pencarian bentuk pola pengajaran sesuai

dengan jati dirinya. Oleh karenanya pembenahan mutu pendidikan IPA biologi
melalui perbaikan program LPTK sangat tepat.
3. Pembekalan Keterampilan Mengajar di LPTK dan Praktik Pembelajaran
IPA di Sekolah
Upaya menyiapkan guru IPA biologi yang profesional tidak dapat dilepaskan
dari peran LPTK sebagai institusi yang berkompeten dalam meluluskan calon guru.
Berdasarkan keputusan Dirjen Dikti No. 36/DIKTI/KEP/1990, salah satu tujuan
pendidikan guru IPA di LPTK program strata satu (S1) adalah untuk menghasilkan
guru IPA yang memiliki wawasan luas tentang kependidikan serta memiliki
kemampuan dan keterampilan yang memadai dalam merancang, melaksanakan,
mengelola kegiatan belajar-mengajar (KBM) bidang studi IPA. Dalam Kurikulum
dan Silabi Jurusan Biologi Fakultas Pendidikan MIPA Universitas Pendidikan
Indonesia (2000) dinyatakan bahwa mata kuliah untuk Progran Strata 1 (S1) terdiri
atas 156 sistem kredit semester (SKS) yang dibagi dalam empat kelompok mata
kuliah meliputi: 8% (14 SKS) mata kuliah dasar umum (MKDU); 7% (12 SKS) mata
kuliah dasar kependidikan (MKDK); 11% (18 SKS) mata kuliah proses belajar
mengajar (MKPBM); dan 71% (112 SKS) mata kuliah pendidikan bidang studi
(MKPBS). Khusus untuk kelompok MKPBM terdiri atas empat mata kuliah meliputi:
Strategi Belajar mengajar (4 SKS), Evaluasi Pendidikan (4 SKS), Perencanaan
Pengajaran (3 SKS), Pendidikan dan Penelitian (3 SKS), dan Program Pengalaman
Lapangan / PPL (4 SKS). Meski keempat kelompok mata kuliah tersebut di atas
(MKDU, MKDK, MKPBM, dan MKPBS) secara keseluruhan memberi kontribusi
dalam pembekalan calon guru di LPTK, tetapi kelompok MKPBM khususnya mata
16
kuliah Perencanaan Pengajaran (PP) dan Strategi Belajar Mengajar (SBM) dipandang
memiliki keterkaitan sangat erat dengan pembekalan keterampilan mengajar IPA
secara praktis bagi calon guru di LPTK. Meski merupakan mata kuliah pembekalan
praktis tetapi karena metode perkuliahan yang digunakan bervariasi (meliputi
ceramah, diskusi, demonstrasi, simulasi, ekspositori, presentasi, dan praktik
menggunakan peer student), maka kedua mata kuliah tersebut (Perencanaan
Pengajaran dan SBM) dapat dikatakan masih bersifat parsial dan belum sepenuhnya
berbasis praktis melainkan perpaduan 40% teori dan 60% praktik. Pembekalan
keterampilan mengajar IPA yang benar-benar berorientasi praktis dan bersifat
menyeluruh baru diberikan kepada calon guru melalui program pengalaman lapangan
(PPL) di sekolah yaitu calon guru diberi kesempatan seluas-luasnya melakukan
latihan praktik mengajar IPA secara “nyata” di kelas sebagai wahana penerapan teori
yang telah diperolehnya di LPTK. Pembekalan praktis melalui PPL pada dasarnya
dibedakan menjadi dua kegiatan yaitu: (1) kegiatan pembelajaran di kelas; dan (2)
kegiatan di luar pembelajaran.
Kegiatan pengajaran di kelas sebagai bagian integral dari pembekalan
pengelolaan PBM bertujuan untuk memberikan pengalaman mengajar secara faktual
di kelas sebagai wahana terbentuknya calon guru yang terampil dan profesional
dalam mengajar IPA yang meliputi: observasi situasi pembelajaran di kelas, membuat
persiapan pembelajaran, latihan praktik pembelajaran di kelas, berinteraksi dengan
siswa dan guru dalam pembelajaran, dan ujian praktik mengajar. Kegiatan di luar
pembelajaran sebagai bagian integral dari program pembekalan pengelolaan
pembelajaran di luar kelas untuk memberikan pengalaman mengelola sekolah secara

faktual sebagai wahana terbentuknya calon guru yang terampil dan profesional yang
meliputi: observasi situasi kondisi sekolah (tata tertib kelas dan sekolah, administrasi
kelas dan sekolah), pengelolaan fasilitas sekolah (perpustakaan dan laboratorium),
kegiatan bimbingan dan konseling), kegiatan ekstra kurikuler (pramuka, paskibra,
PMR, UKS, kesenian dan olah raga), piket serta berinteraksi dengan lingkungan
sekolah. Idealnya ada keterkaitan antara pembekalan di LPTK dengan praktik
pengajaran di sekolah. Pada hakikatnya praktik mengajar merupakan penerapan dari
teori, oleh karenanya penguasaan berbagai aspek keterampilan mengajar IPA
seyogianya telah dibekalkan kepada calon guru di LPTK sebelumnya.
Dari hasil telaah perbandingan beberapa kurikulum LPTK pada pra survei,
ditemukan bahwa pengetahuan dan penguasaan berbagai aspek keterampilan
mengajar IPA pada dasarnya sudah dibekalkan kepada mahasiswa praktikan PPL
selama di LPTK melalui mata kuliah MKPBM. SBM dan PP adalah mata kuliah yang
memiliki kontribusi kuat dalam menunjuang keterampilan calon guru dalam mengajar
IPA. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pembekalan teori dan praktik melalui
kedua mata kuliah tersebut (SBM dan PP) ditinjau dari aspek pengajar maupun
strategi pembelajarannya telah cukup memadai. Hasil penelusuran menunjukkan
umumnya mahasiswa calon guru tidak menemui kendala yang berarti dalam
memahami materi kuliah maupun dalam kegiatan simulasi mengajar di kelas.
Hal tersebut dimaksudkan agar
sebelum melakukan praktik mengajar di lapangan calon guru memiliki bekal yang
memadai. Lajur 2 menunjukkan bahwa perolehan nilai mahasiswa pada mata kuliah
PP secara umum relatif baik, hanya sebagian kecil saja mahasiswa yang mendapat
nilai C. Jika kepada calon guru telah diberikan bekal pengetahuan praktis yang cukup
seperti kondisi di atas, idealnya calon guru sudah memiliki keterampilan mengajar
yang memadai. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Sukirman, dkk. (1998)
yang menemukan bahwa kelompok mahasiswa praktikan dalam PPL yang
memperoleh pembinaan di kelas terdapat hubungan positif antara pembinaan calon
guru di kelas (kajian teoritis, microteaching, observasi PBM) memperoleh nilai lebih
baik dalam keterampilan membuat persiapan dan keterampilan mengajar dalam PBM
dibandingkan dengan kelompok yang tidak memperoleh pembinaan kelas.
Seyogianya ada keselarasan antara pembekalan teori dan praktik di LPTK dengan di

sekolah, sebab pada dasarnya praktik mengajar merupakan penerapan bekal di LPTK
ke dalam pembelajaran nyata di sekolah. Hasil pengamatan kegiatan praktik mengajar
di beberapa sekolah menunjukkan calon guru masih menemui hambatan dalam
menerapkan bekal teori dan praktik yang telah diperolehnya ke dalam praktik
pmbelajaran di sekolah, baik dalam membuat persiapan mengajar maupun
implementasinya dalam PBM. Pada observasi dilapangan ditemukan umumnya guru
pamong menyusun satuan pelajaran dan rencana pelajaran secara non-matriks,
sementara dalam praktik perkuliahan SBM dan PP menggunakan sistem matriks.
Begitupula halnya dengan penggunaan pertanyaan produktif yang selalu ditekankan
pada mahasiswa pada mata kuliah SBM dan PP, di sekolah guru pamong belum
terbiasa menggunakannya dalam pembelajaran. Kesenjangan tersebut perlu segera
dicari pemecahannya agar tujuan pembekalan teori dan praktik di LPTK sesuai
dengan hakikat pembelajaran IPA dapat efektif dan selaras dengan praktik
pembelajaran di sekolah.
4. Keterampilan Calon Guru Mengajar IPA dan Standar Kompetensi Guru IPA
Dalam kurikulum pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (MIPA-LPTK) Program Strata-1 (S1)
dinyatakan bahwa salah satu tujuan pendidikan guru MIPA SLTA di LPTK adalah
menghasilkan calon guru berwawasan luas tentang kependidikan serta memiliki
kemampuan dan keterampilan yang memadai dalam merancang, melaksanakan, dan
mengelola kegiatan belajar mengajar bidang MIPA (Dirjen Dikti, 1991:1). Melalui
programnya, LPTK bertanggung jawab memberi bekal pengetahuan, keterampilan
dan sikap keguruan sehingga dapat dihasilkan calon guru MIPA yang kompeten dan

profesional sesuai dengan kebutuhan sekolah. Idealnya guru (IPA) dapat memenuhi
keseluruhan dari sepuluh standar kompetensi guru yang dipersyaratkan meliputi (1)
kompetensi akademik (menguasai bahan ajar, menyusun program pengajaran,
menguasai landasan pendidikan); (2) kompetensi mengembangkan sikap
(mengembangkan kepribadian); (3) kompetensi keterampilan mengajar
(melaksanakan program pengajaran, menilai hasil dan proses PBM,
menyelenggarakan program bimbingan, menyelenggarakan administrasi sekolah,
berinteraksi dengan sejawat di masyarakat, menyelenggarakan penelitian sederhana
untuk keperluan pengajaran) (Sukmadinata, 2000; Rustaman, dkk., 2004). Dalam
kegiatan PPL keseluruhan standar kompetensi tersebut di atas selanjutnya dibedakan
menjadi (1) latihan praktik dalam pengajaran meliputi enam keterampilan membuat
persiapan mengajar (membuat tujuan pembelajaran khusus / TPK, menyusun materi
pelajaran, memilih dan menetapkan strategi pembelajaran, memilih dan menetapkan
media pembelajaran, memilih dan menetapkan evaluasi pembelajaran, membuat
pertanyaan produktif) dan delapan keterampilan mengajar dalam PBM (membuka
pelajaran, menyampaikan materi pelajaran, mengembangkan sikap dalam
pembelajaran, menggunakan strategi pembelajaran yang ditetapkan, menggunakan
media pembelajaran, mengevaluasi pembelajaran, menggunakan pertanyaan
produktif, dan menutup plajaran); (2) latihan praktik di luar pengajaran meliputi
pengembangan sosial pribadi (kepemimpinan, tanggung jawab, stabilitas emosi,
sosialisasi, disiplin, sikap, dan cara berbusana) dan pelaksanaan tugas kependidikan
di luar pengajaran (upacara bendera, layanan perpustakaan, bimbingan organisasi
siswa intra sekolah/OSIS, bimbingan olah raga, bimbingan kesenian, bimbingan

palang merah remaja/PMR, dan bimbingan dan konseling/BP) (Buku Pedoman
Pelaksanaan PPLK UPI, 2000).
Dari hasil pengamatan di beberapa sekolah menunjukkan dalam kegiatan
praktik mengajar calon guru masih menemui hambatan..
Hambatan dalam membuat persiapan mengajar IPA umumnya berkenaan dengan
keterampilan: (1) membuat TPK; (2) membuat pertanyaan produktif; (3)

mengalokasikan waktu pembelajaran; dan (4) menetapkan media pembelajaran. Dari
keempat keterampilan tersebut di atas, keterampilan membuat pertanyaan produktif
merupakan hambatan yang paling banyak ditemui oleh calon guru. Keterampilan
dalam kegiatan PBM, hambatan umumnya berkenaan dengan keterampilan: (1)
menarik perhatian siswa; (2) mengelola kelas; (3) menetapkan strategi pembelajaran;
dan (4) menggunakan pertanyaan produktif dalam pembelajaran. Dari keempat
hambatan tersebut keterampilan menarik perhatian siswa dan keterampilan mengelola
kelas rupaya merupakan hambatan yang sering ditemui oleh calon guru. Hal tersebut
didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan keterampilan
mengelola kelas merupakan kendala yang paling banyak ditemukan pada mahasiswa
ketika melaksanakan kegiatan praktik mengajar di sekolah (Sudargo, 2001). Dari
hasil studi kepustakaan ditemukan rendahnya keterampilan calon guru dalam praktik
mengajar juga menjadi fokus keresahan bagi lembaga pendidikan guru di Malaysia
(Zarina, dkk., 2003:640).

Umumnya kurangnya respon siswa terhadap guru praktik karena alasan yang
berkaitan dengan: (1) materi pembelajaran yang disampaikan sulit dipahami; (2)
jawaban pertanyaan cenderung kurang memuaskan; (3) pengembangan sikap guru
dalam PBM kurang menarik; dan (4) kurang menguasai materi yang diajarkan.
Kondisi tersebut di atas menggambarkan bahwa kualitas keterampilan calon guru
dalam mengajar IPA belum seperti yang diharapkan oleh siswa bahkan secara jujur
hal tersebut diakui oleh guru pamong. Kondisi tersebut mengindikasikan adanya
ketidak selarasan antara kemampuan yang ditampilkan dalam praktik mengajar di
sekolah dengan kompetensi calon guru IPA yang diharapkan. Dari hasil observasi
terhadap pelaksanaan perkuliahan SBM dan PP pada pra-survei ditemukan latihan
PBM IPA melalui kegiatan simulasi mengajar cenderung menggunakan peer class,
sehingga kurang berbasis pada pembelajaran nyata (real class). Meski disadari oleh
pengajar bahwa situasi pembelajaran menggunakan real class sangat berbeda dengan
peer class, namun penggunaannya untuk pembekalan bagi calon guru di LPTK tidak
mudah dilakukan. Oleh karenanya faktor tersebut di atas diprediksi kuat merupakan
salah satu penyebab kurangnya keterampilan calon guru dalam mengelola PBM.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa terdapat kesenjangan antara
tuntutan dan kondisi keterampilan mengajar calon guru dengan pelaksanaan praktik
mengajar IPA di sekolah, oleh karenanya perlu dilakukan terobosan bagi upaya

perbaikan program pembekalan bagi calon guru di LPTK. Kurikulum program
pendidikan guru IPA khususnya biologi di LPTK yang dikembangkan dengan
proporsi 40% teori dan 60% praktis seyogianya diarahkan pada latihan mengajar
berbasis pembelajaran nyata sehingga dapat selaras dengan praktik pembelajaran di
lapangan. Jika hal tersebut sulit dilakukan, maka kegiatan praktik mengajar di sekolah
seyogianya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya agar menjadi wahana latihan
mengajar yang efektif dan sebagai medan latihan terakhir bagi calon guru sebelum
terjun menjadi guru IPA yang sesungguhnya.
5. Prinsip Bimbingan dan Layanan Bimbingan Praktik Mengajar Bagi Calon
Guru
Mengingat kegiatan praktik mengajar merupakan komponen penting bagi
pembentukan keterampilan calon guru, maka upaya perbaikan kualitas calon guru
IPA melalui program PPL merupakan langkah strategis. Kegiatan latihan mengajar
merupakan komponen penting dalam program pendidikan guru (Conant, 1963:142;
Locke, 1979; Zeichner, 1980; Paese, 1984; Ocansey, 1988;). Menurut Conant latihan
mengajar merupakan salah satu elemen yang amat diperlukan dalam pendidikan guru
yang profesional. Dalam hal ini Gabel (1994:18) menyatakan bahwa: “field
experience in schools is an opportunity for student teachers to try out who they are as
professional educators and what it is they are learning in their classes”. Sementara
Rigden (1990) menyatakan bahwa pengalaman lapangan sangat membantu
meningkatkan keterampilan mengajar bagi calon guru. Hasil penelitian Schoon
(1995) menunjukkan bahwa kegiatan pre-service bagi calon guru IPA secara bertahap
dapat menyatukan konsepsi-konsepsi alternatif dan berbagai konsep penting dalam

IPA. Pentingnya pengalaman berbasis sekolah juga dikemukakan oleh beberapa
peneliti (Eltis & Carins, 1982; Zeichner, 1984) yang menyatakan: “.school-based
experiences as the important, central part of their pre-service teacher education”.
Johnston (1994: 206) mengemukakan bahwa: “teacher education programs have an
important role in developing within student teacher’s images of good teaching”.
Seperti halnya mengajar, hakikat bimbingan adalah adanya interaksi antara
pihak yang dibimbing dan yang membimbing. Seperti tugas guru dalam
pembelajaran, pembimbing PPL juga memiliki peran kompleks, selain membantu
calon guru dalam melaksanakan pengajaran juga melaksanakan supervisi klinis
pengajaran di kelas untuk mengontrol kualitas penampilan calon guru dalam
mengajar (Pedoman Pelaksanaan PPL, 2000:12). Dengan demikian tugas
pembimbing adalah memberi layanan bimbingan agar kegiatan praktik mengajar
dapat berlangsung secara efektif dan optimal. Menurut Prayitno (1999:197-217), ada
empat sasaran tujuan bimbingan meliputi pemahaman (1), pengentasan (2),
pengembangan (3), dan pencegahan (4). Keempat sasaran bimbingan tersebut dapat
dicapai apabila strategi bimbingan yang digunakan tepat, sehingga mampu
menciptakan situasi bimbingan yang memungkinkan pihak terbimbing dapat
mengemukakan kebutuhan, hambatan, keinginan, dan gagasan-gagasannya dengan
nyaman. Strategi bimbingan tersebut juga memungkinkan dapat terwujud bila
pembimbing telah menempuh prosedur sesuai prinsip-prinsip bimbingan dan hakikat
tugas pembimbing yang meliputi identifikasi (1), analisis (2), diagnosis (3),
prognosis, (4) terapi (5), dan (6) tindak lanjut (Gani, 1996:4). Dalam bimbingan
praktik mengajar IPA, prosedur bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing

seyogianya bersifat terpadu dan terencana. Hal tersebut relevan dengan pendapat
Prayitno (1999:220) yang menyatakan bahwa agar dapat dicapai layanan bimbingan
yang efektif, pembimbing seyogianya mempersiapkan kegiatan bimbingannya secara
terprogram.
Untuk mengetahui sejauh mana layanan bimbingan telah sesuai dengan
kebutuhan pihak terbimbing, seyogianya dilakukan evaluasi. Hal evaluasi tersebut
dimaksudkan selain untuk melihat kemajuan yang telah dicapai oleh pihak terbimbing
juga sebagai feedback bagi upaya perbaikan layanan bimbingan. Berdasarkan uraian
tersebut dapat dikemukakan bahwa seorang pembimbing seyogianya memahami
komponen-komponen layanan bimbingan dengan baik yang meliputi: tujuan
bimbingan, materi bimbingan, strategi bimbingan, prosedur bimbingan, media
bimbingan, dan evaluasi bimbingan. Untuk dapat mewujudkan bimbingan seperti
tersebut di atas, dituntut adanya interaksi yang kompak antara dosen pembimbing
(DP) dan guru pamong (GP), sehingga layanan bimbingan yang diberikan kepada
calon guru (CG) dapat selaras dan terpadu.
Meski kondisi di atas menggambarkan layanan bimbingan ideal yang
seyogianya dilakukan oleh DP dan GP, namun dalam praktiknya masih ditemui
banyak hambatan. Dari hasil pra-survei diperoleh tujuh (7) temuan. Pertama,
interaksi bimbingan antara DP dan GP maupun antara DP, GP, dan CG, cenderung
kaku dan terkesan sebagai “atasan” dan “bawahan”. Kedua, pendekatan bimbingan
pada tahap awal hingga tahap akhir kegiatan praktik mengajar cenderung bersifat
langsung (direktif), yaitu pemberian bantuan terapi yang ditujukan agar langsung
dapat terjadi perubahan perilaku pada klien. Ketiga, metode pemodelan yang

dilakukan oleh GP cenderung kurang memberi dampak yang berarti bagi CG. Hasil
wawancara menunjukkan bahwa umumnya CG menyatakan belum mendapatkan
acuan model pembelajaran IPA menarik yang dapat menjadi sumber inspirasi dalam
kegiatan praktik mengajar di sekolah. Keempat, prosedur bimbingan belum
sepenuhnya mengacu pada langkah-langkah sesuai dengan prinsip-prinsip bimbingan
(identifikasi, analisis, diagnosis, prognosis, terapi, dan tindak lanjut). Bantuan terapi
yang diberikan GP seringkali kurang dilandasi oleh hasil analisis yang mendalam
berdasarkan kelemahan dan kekuatan yang dimiliki CG. Pertanyaan yang diajukan
GP terhadap CG cenderung dilakukan secara langsung dan sifatnya memberikan
penjelasan, arahan, kritikan, serta pemberian saran, sehingga aktivitas bimbingan
lebih banyak didominasi oleh GP. Kelima, evaluasi bimbingan lebih menekankan
pada penilaian produk bimbingan daripada proses bimbingan. Evaluasi kegiatan
praktik mengajar hanya ditujukan pada performance CG dalam menguasai aspekaspek
keterampilan mengajar IPA sebagai produk bimbingan, sementara evaluasi
terhadap aktivitas layanan bimbingan selama kegiatan praktik mengajar sebagai
proses bimbingan tidak dilakukan. Keenam, GP tampaknya tidak mengagendakan
kegiatan bimbingannya secara terprogram, sehingga layanan bimbingan terkesan
kurang terencana. CG cenderung diposisikan sebagai “pengganti” dalam tugas
pengajaran di kelas daripada sebagai mahasiswa CG bimbingannya. Ketujuh, kondisi
DP dan GP, khususnya berkaitan dengan kualifikasi pendidikan dan pengalamannya,
menunjukkan adanya variasi. Dari hasil observasi dan studi dokumen ditemukan
bahwa dari sejumlah DP dan GP yang disurvei umumnya memiliki latar belakang
bidang keilmuan yang sama (S1 Pendidikan Biologi), tetapi masing-masing memiliki

kualifikasi pendidikan yang bervariasi. Perbandingan persentase kualifikasi DP: 40%
berpendidikan jenjang S3, 30% jenjang S2, dan 30% berpendidikan jenjang S1 atau
sedang S2 (Dokumentasi Jurusan Biologi FPMIPA UPI, 2002). Pengalaman DP
dalam mengajar sesuai dengan latar belakang keilmuannya juga menunjukkan adanya
variasi. Sebanyak 50% berpengalaman mengajar > 7 tahun dan 50% berpengalaman
mengajar < 7 tahun. Pengalaman mengajar di sekolah, sebanyak 67% DP
berpengalaman mengajar di SMU atau SLTP. Hampir semua DP pernah terlibat
dalam kolaborasi penelitian antara LPTK-Sekolah. Dari hasil observasi terhadap
kondisi GP ditinjau dari kualifikasi pendidikan dan pengalamannya, ditemukan
adanya variasi. Meskipun secara umum GP memiliki latar belakang pendidikan
biologi, sebanyak 40% berkualifikasi Diploma III (D3), dan 60% berkualifikasi
sarjana (S1). Ditinjau dari pengalaman mengajar bidang studi IPA Biologi, sebanyak
40% GP memiliki pengalaman mengajar bidang studi > 10 tahun dan 60%
berpengalaman < 10 tahun. Ditinjau dari pengalaman membimbing PPL, 20% GP
berpengalaman 1 hingga 2 tahun, 40% berpengalaman membimbing PPL 3 hingga 4
tahun, dan 40% berpengalaman membimbing PPL > 4 tahun. Berkaitan dengan
pengalaman terlibat penelitian kolaborasi antara LPTK-Sekolah, hanya 40% GP yang
pernah terlibat kolaborasi penelitian antara LPTK-Sekolah, sisanya (60%) sama sekali
belum pernah terlibat kolaborasi penelitian antara LPTK-Sekolah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa terdapat
kesenjangan antara prinsip bimbingan yang ideal bagi CG dengan kondisi nyata
layanan bimbingan praktik mengajar di lapangan. Kesenjangan tersebut jika tidak
segera dicari solusi pemecahannya dapat merpengaruhi kualitas layanan bimbingan

terhadap CG dan pada gilirannya dapat menimbulkan berbagai dampak negatif dalam
pelaksanaan kegiatan praktik mengajar IPA di sekolah. Pertama, adanya
kecenderungan interaksi sebagai “atasan” dan “bawahan” antara DP dan GP dapat
menciptakan jarak diantara kedua pihak, sehingga dapat menyebabkan layanan
bimbingan menjadi kurang terpadu. Begitu pula halnya jika interaksi antara DP dan
GP dengan CG kurang harmonis, dapat menyebabkan komunikasi menjadi kurang
lancar. CG mengalami kesulitan untuk menyampaikan kebutuhan bimbingannya
sementara GP tidak mengetahui kebutuhan CG yang dibimbingnya, akibatnya
layanan bimbingan menjadi kurang efektif. Kedua, orientasi layanan bimbingan yang
secara terus menerus hanya ditujukan pada terjadinya perubahan perilaku langsung,
dapat menimbulkan dampak negatif bagi CG maupun bagi DP atau GP. Pemberian
bantuan terapi secara langsung dengan mengesampingkan upaya penumbuhan potensi
CG, selain membutuhkan waktu layanan bimbingan lebih banyak, juga dapat
menyebabkan rendahnya motivasi dan kreativitas CG. Ketiga, pemberian model
rancangan pembelajaran IPA dan model kegiatan mengajar dalam PBM yang kurang
menarik, dapat mempengaruhi penampilan CG dalam praktik mengajar selanjutnya,
seperti kurangnya motivasi dan kreativitas CG dalam mengembangkan keterampilan
praktik mengajar IPA. Keempat, prosedur bimbingan yang kurang mengacu pada
prinsip-prinsip bimbingan dapat mempengaruhi kualitas layanan bimbingan.
Pemberian bantuan terapi yang tidak berdasarkan pada potensi klien serta kurang
dilandasi dengan analisis yang mendalam, seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan
CG sehingga layanan bimbingan menjadi kurang efektif. Cara mengajukan
pertanyaan secara langsung, disertai penjelasan, pengarahan, kritikan, dan pemberian

saran, selain dapat menyebabkan klien menjadi pasif juga kurang dapat
menumbuhkan potensi klien secara optimal. Kelima, evaluasi bimbingan yang hanya
berorientasi pada produk bimbingan saja dapat menurunkan efektifitas layanan
bimbingan, sebab tidak ada refleksi yang dapat dijadikan input bagi DP dan GP untuk
meningkatkan kualitas layanan bimbingannya. Keenam, kegiatan bimbingan yang
kurang terprogram dan kurang terencana dengan baik, dapat menghambat tercapainya
tujuan bimbingan yang telah ditetapkan. Ketujuh, adanya variasi kondisi DP dan GP
berkaitan dengan kualfikasi pendidikan dan pengalaman dalam hal: mengajar sesuai
bidang studi, membimbing PPL, serta terlibat kolaborasi penelitian antara LPTKSekolah,
diprediksi kuat dapat mempengaruhi kualitas layanan bimbingan yang
diberikan kepada CG. Faktor kualifikasi dan pengalaman berkaitan erat dengan
pengetahuan, wawasan, pola pikir, kepekaan dalam memahami kebutuhan klien, serta
perilaku bimbingan seperti: keterbukaan, keintiman, komunikasi dengan klien. Dari
hasil pra-survei menunjukkan respon mahasiswa praktikan PPL terhadap kualitas
layanan bimbingan yang diberikan DP dan GP belum seperti yang diharapkan. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa efektivitas layanan bimbingan yang diberikan
kepada CG relatif rendah.
Kondisi tersebut di atas mengindikasikan
bahwa kualitas layanan bimbingan praktik mengajar IPA yang diberikan kepada CG
perlu ditingkatkan. Pada lajur 2 menunjukkan aspek kelemahan layanan bimbingan
yang menjadi fokus keluhan mahasiswa meliputi kuantitas maupun kualitas layanan
bimbingan. Ditinjau dari aspek kuantitas bimbingan, rendahnya efektivitas bimbingan
berkaitan erat dengan terbatasnya waktu bimbingan yang disediakan oleh DP maupun
GP, sedangkan dari aspek kualitas bimbingan, berkaitan erat dengan materi dan
strategi bimbingan. Dari hasil penelusuran terungkap bahwa rendahnya intensitas
layanan bimbingan disebabkan oleh banyak faktor, sebagian (46%) karena kesibukan
(tugas mengajar, kuliah atau berkaitan dengan tugas jabatan), sebagian (31%) karena

jumlah mahasiswa yang dibimbingnya banyak, dan sebagian lagi (23%) karena jarak
tempuh sekolah cukup jauh.
Bertolak dari adanya kesenjangan antara prinsip bimbingan bagi calon guru
di LPTK yang ideal dengan kondisi layanan bimbingan praktik mengajar IPA di
lapangan seperti terurai pada latar belakang tersebut di atas serta kemungkinan
berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya, maka upaya perbaikan kualitas
layanan bimbingan praktik mengajar IPA merupakan suatu kebutuhan yang
mendesak. Konsep bimbingan praktik mengajar IPA bagi CG di LPTK seyogianya
diarahkan pada bimbingan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip pembinaan dan
mengacu pada hakikat bimbingan bagi CG di LPTK serta sesuai dengan kondisi dan
situasi di LPTK, dalam rangka meningkatkan penguasan keterampilan CG dalam
mengajar IPA sebagai bekal menjadi guru IPA yang profesional. Oleh karenanya
perlu adanya model bimbingan yang efektif yang dapat meningkatkan keterampilan
CG dalam mengajar IPA, sebagai acuan bagi DP dan GP dalam memberikan layanan
bimbingan praktik mengajar kepada CG.

B. PEMBATASAN dan RUMUSAN MASALAH
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam upaya mengantisipasi
adanya kesenjangan antara tuntutan dan kondisi nyata yang berkenaan dengan: (1)
kualitas pembelajaran IPA sekolah dan tuntutan era global abad-21, (2) tuntutan guru
IPA kini dan masa depan, (3) pembekalan keterampilan mengajar di LPTK dan
praktik pembelajaran di sekolah, (4) keterampilan CG mengajar IPA dan standar
kompetensi guru IPA, dan (5) prinsip bimbingan dan layanan bimbingan praktik

mengajar bagi CG, maka program-program PPL khususnya layanan bimbingan
praktik mengajar IPA biologi perlu direncanakan dan disempurnakan secara tuntas,
menyeluruh, dan dapat menyentuh semua komponen pendukungnya. Namun hal
tersebut tak mudah dilakukan, sebab selain membutuhkan dukungan dana yang sangat
besar dan waktu yang relatif lama, juga sangat kompleks karena melibatkan banyak
komponen LPTK lainnya seperti pihak unit pelaksana teknis (UPT) PPL, badan
administrasi akademik dan kemahasiswaan (BAAK), maupun Jurusan FPMIPA. Oleh
karenanya perlu dicari alternatif cara memperbaikinya. Natawijaya (1992)
menyatakan bahwa unsur sistemik yang dapat memberikan kontribusi pada kualitas
suatu program pendidikan (termasuk program praktik mengajar) sekurang-kurangnya
mencakup tujuh aspek meliputi: (1) kurikulum, (2) pengelolaan, (3) pendidik, (4)
peserta didik, (5) sarana & prasarana pembelajaran, (6) proses pembelajaran, dan (7)
penilaian pembelajaran. Perbaikan yang hanya diarahkan pada salah satu unsur saja
belum tentu menghasilkan perbaikan sistem secara menyeluruh, sebaliknya
kelemahan pada salah satu unsur cenderung dapat merusak keseluruhan sistem. Masih
menurut Natawijaya, jika perbaikan terhadap program secara tuntas dan serempak
yang mencakup seluruh komponen sistem sangat sulit dilakukan, maka perbaikan
sekurang-kurangnya harus menyentuh pada unsur yang esensial dan setidak-tidaknya
dirancang secara sistemik. Oleh karenanya solusi yang dipandang tepat adalah dengan
memodifikasi unsur esensial komponen-komponen bimbingan praktik mengajar yang
sudah ada. Terdapat beberapa pertimbangan ditetapkannya layanan bimbingan
sebagai fokus pengembangan program PPL dalam penelitian ini.

Pertama, bimbingan merupakan unsur yang memiliki peran sangat strategis
bagi keberhasilan pelaksanaan PPL. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya
keterkaitan yang erat antara bimbingan dengan keberhasilan CG dalam praktik
mengajar. Dari hasil penelitian Dawam (1990) ditemukan bahwa bantuan bimbingan
dan supervisi yang efektif dapat memberi kontribusi yang lebih besar terhadap
peningkatan kemampuan CG. Peningkatan teknik bimbingan akan diikuti oleh
peningkatan keterampilan mengajar CG (Khaerudin, 2001). Hal tersebut didukung
oleh hasil penelitian Rochintaniawati (2001) bimbingan yang demokratis dapat
meningkatkan proses pembelajaran di kelas serta peningkatan perolehan nilai siswa.
Kedua, pengembangan komponen bimbingan praktik mengajar IPA dalam bentuk
penelitian cenderung belum banyak dilakukan. Dari hasil telaah hasil-hasil penelitian
menunjukkan pada umumnya penelitian lebih terfokus pada metode atau media
bimbingan daripada strategi bimbingan praktik mengajar IPA.
Bertolak dari uraian di atas dan dalam upaya meningkatkan kualitas layanan
bimbingan dalam rangka meningkatkan keterampilan CG dalam mengajar IPA, maka
penelitian ini difokuskan pada pengembangan model bimbingan praktik mengajar
IPA. Untuk kepentingan tersebut di atas, langkah awal yang ditempuh adalah
mengidentifikasi variabel penelitian berkenaan dengan hal-hal yang berpengaruh
terhadap bimbingan praktik mengajar. Beberapa faktor yang dipandang dapat
mempengaruhi kualitas bimbingan praktik mengajar IPA yaitu: (1) Faktor pendukung
pelaksanaan kegiatan praktik mengajar yang meliputi: Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK) sebagai institusi tempat CG belajar, sekolah sebagai institusi
tempat CG melaksanakan kegiatan praktik mengajar, dan mahasiswa praktikan PPL

sebagai CG; dan (2) Faktor interaksi antar subyek praktik mengajar meliputi:
interaksi antara DP dengan GP (DP GP); interaksi antara GP dengan CG (GP
CG); interaksi antara DP dengan CG (DP CG); serta interaksi antara DP, GP, dan
CG (DP CG GP). Secara keseluruhan peta teoritis faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap bimbingan praktik mengajar IPA diilustrasikan pada pada
Bagan 1.1.
1. Faktor Pendukung Pelaksanaan Praktik Mengajar IPA
a. LPTK
LPTK sebagai institusi tempat CG IPA belajar, merupakan komponen praktik
mengajar yang diprediksi turut berpengaruh terhadap kualitas layanan bimbingan,
meliputi: Kurikulum LPTK, Fasilitas Pembelajaran di LPTK, Dosen Pembimbing
PPL, Iklim Pembelajaran, “Reward” untuk Dosen Pembimbing, dan Motivasi Dosen
Pembimbing.
1) Kurikulum LPTK
Kurikulum pendidikan guru IPA di LPTK meliputi: program praktik
mengajar IPA, buku pedoman pelaksanaan PPL, dan format kegiatan praktik
mengajar IPA. Kelengkapan, isi dan pemanfaatan perangkat kurikulum LPTK
tersebut di atas, merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kualitas layanan
bimbingan yang diberikan dosen pembimbing kepada CG.
2) Fasilitas Pembelajaran di LPTK
Fasilitas pembelajaran di LPTK berupa sarana dan prasarana pendukung
layanan bimbingan praktik mengajar IPA yang meliputi: pengajaran mikro
(microteaching) dan media pembelajaran IPA. Pengajaran mikro berfungsi

sebagai sarana pendukung dalam layanan bimbingan praktik mengajar CG
melalui pemberian latihan pengajaran IPA secara terbatas, sedangkan media
pembelajaran IPA merupakan sarana latihan kegiatan PBM dan praktikum IPA
bagi CG. Ketersediaan kedua fasilitas tersebut di atas diprediksi dapat membantu
meningkatkan kualitas layanan bimbingan kepada CG.
3) Dosen Pembimbing PPL
Faktor internal DP meliputi: pengalaman mengajar di LPTK, pengalaman
mengajar di sekolah, pengalaman membimbing PPL, pengalaman terlibat
pelatihan dan pendidikan, pengalaman dalam penelitian di sekolah, kualifikasi
pendidikan, beban tugas, dan sikap atau perilaku DP, merupakan faktor yang
diprediksi dapat memepengaruhi kualitas layanan bimbingan praktik mengajar.
Begitu pentingnya peran DP dalam PPL hingga diistilahkan sebagai “ibu
kandung” (Meriawan, 2002).
(a) Pengalaman Mengajar Bidang Studi di LPTK
Pengalaman DP dalam mengajar di LPTK adalah pengalaman dalam mengajar
MKPBS atau MKPBM. Pengalaman tersebut diprediksi dapat mempengaruhi
perilaku pembimbing dalam memberikan layanan bimbingan. Hasil penelitian
Atikah (1998).menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara kemampuan
membimbing dengan materi perkuliahan yang relevan. Kelompok mahasiswa
praktikan PPL yang dibimbing oleh dosen yang terlibat dalam pengajaran
bidang studi yang relevan (SBM) daya serapnya lebih baik dibandingkan
dengan kelompok mahasiswa yang diajar oleh dosen yang tidak terlibat dalam
pengajaran bidang studi yang relevan. DP yang memiliki pengalaman

mengajar MKPBM yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang berkaitan
erat dengan kegiatan praktik mengajar dapat mendukung dalam memberikan
layanan bimbingan kepada CG, sebab pada dasarnya materi dan kegiatan
bimbingan dalam praktik mengajar di sekolah merupakan implementasi dari
pengetahuan teoritis di LPTK.
(b) Pengalaman Mengajar di Sekolah
Pengalaman DP dalam mengajar di sekolah berupa pengalaman mengajar di
SLTP atau SMU, khususnya mengajar bidang studi IPA biologi. Meski
persyaratan mengajar di sekolah tidak dicantumkan secara eksplisit sebagai
kriteria persyaratan bagi DP, tetapi pengalaman tersebut merupakan salah satu
faktor pendukung bagi efektivitas layanan bimbingan. Dengan memiliki
pengalaman mengajar di sekolah setidaknya DP dapat memahami karakter
dan kebutuhan CG maupun siswa yang dibimbingnya, sehingga sangat
menunjang dalam memberikan layanan bimbingan. Di LPTK tertentu (UNES
Semarang) pengalaman mengajar di sekolah merupakan salah satu persyaratan
yang harus dipenuhi oleh seorang DP (Buku Pedoman PPL UNES, 2002).
(c) Pengalaman Membimbing PPL
Pengalaman DP dalam membimbing kegiatan PPL khususnya kegiatan praktik
mengajar IPA. DP yang sudah berpengalaman membimbing PPL dapat
mengetahui karakter dan kebutuhan CG, sehingga layanan bimbingan yang
diberikan menjadi lebih efektif karena sesuai dengan yang dibutuhkan CG
bimbingannya. Dalam hal ini Zarina (2003) mengemukakan bahwa
pengalaman yang dimiliki dosen dalam membimbing latihan mengajar CG

dapat mempengaruhi kualitas layanan bimbingannya. Dosen yang
berpengalaman dalam membimbing PPL akan lebih siap mengantisipasi
kebutuhan CG dibandingkan dengan DP yang kurang berpengalaman dalam
membimbing PPL.
(d) Pengalaman Pelatihan dan Pendidikan IPA
Pengalaman DP terlibat dalam pelatihan dan pendidikan IPA berupa
pengalaman mengikuti berbagai kursus yang berkaitan dengan materi
bimbingan praktik mengajar IPA. Pengalaman tersebut idealnya dapat
memperkaya wawasan dan pengetahuan DP, sehingga lebih kreatif dalam
memberikan layanan bimbingan kepada CG.
(e) Pengalaman Telibat Penelitian dengan Guru di Sekolah
Pengalaman DP dalam kegiatan penelitian berupa keterlibatan aktif
berkolaborasi dengan guru di sekolah. Melalui keterlibatan aktif dalam
penelitian dengan guru di sekolah, selain dapat mempererat hubungan
komunikasi dengan para guru untuk memahami kebutuhan guru IPA maupun
siswa di sekolah sekaligus DP dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan
yang berkaitan dengan kegiatan praktik mengajar di sekolah. Dengan
demikian pengalaman tersebut dipandang dapat mempengaruhi kualitas
layanan bimbingannya.
(f) Kualifikasi Pendidikan
Kualifikasi Pendidikan DP meliputi: latar belakang bidang keilmuan dan
tingkat pendidikan yang telah dicapai oleh DP.

(1) Latar Belakang Bidang Studi
Latar belakang bidang studi (LBBs) setidaknya dapat menunjang wawasan
dan pengetahuan DP dalam melakukan layanan bimbingan karena
berkaitan erat dengan pola berpikir, pengetahuan dan wawasan, serta
perilakunya dalam memberikan layanan bimbingan kepada CG. Oleh
karenanya variasi tingkat kualifikasi DP di LPTK diprediksi dapat
menimbulkan persepsi yang bervariasi terhadap komponen-komponen
bimbingan, sehingga diperkirakan akan muncul keanekaragaman kualitas
layanan bimbingan DP.
(2) Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan yang dimaksud adalah jenjang pendidikan yang telah
ditempuh oleh DP meliputi jenjang: S1, S2, dan S3. Jenjang pendidikan
berkaitan erat dengan pola pikir, wawasan, dan pengetahuan DP. Oleh
karenanya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh DP diprediksi dapat
mempengaruhi kualitas layanan bimbingan.
(g) Beban Tugas
Beban Tugas berupa banyaknya jumlah dan jenis pengajaran yang bebankan
kepada DP meliputi jumlah mahasiswa bimbingan, jumlah jam mengajar, dan
jabatan yang diemban.
(1) Jumlah Mahasiswa Bimbingan
Banyaknya mahasiswa yang dibimbing dalam PPL sedikit banyak
berpengaruh terhadap kualitas layanan bimbingan yang diberikan DP
kepada calon guru. Semakin banyak jumlah mahasiswa yang dibimbing,

semakin terbatas waktu layanan bimbingan individual yang dapat
diperoleh CG yang dibimbingnya karena harus berbagi dengan mahasiswa
bimbingan lainnya. Davies (Sanjaya, 2002) menyatakan bahwa kelompok
belajar yang besar memiliki beberapa kecenderungan diantaranya: a)
waktu yang tersedia semakin sempit karena makin luasnya sumber daya
kelompok mahasiswa; b) waktu diskusi akan terbatas karena keterbatasan
pembimbing dalam menggarap sumber daya yang ada; c) kepuasan akan
mutu sumbangan pikiran cenderung menurun; d) materi diskusi semakin
kompleks karena adanya variasi perbedaan jawaban diantara mahasiswa;
e) motivasi mahasiswa untuk berpartisipasi dalam diskusi menurun karena
keterbatasan waktu. Begitupula jumlah jam mengajar yang dibebankan
kepada DP diprediksi sangat berpengaruh terhadap kualitas layanan
bimbingan.
(2) Jumlah Jam Mengajar
Makin banyak jumlah jam mengajar yang dibebankan kepada DP, makin
terbatas waktu yang dimiliki oleh DP untuk melakukan layanan bimbingan
ke sekolah, terlebih jika jarak tempuh sekolah cukup jauh untuk dijangkau
pembimbing dari lokasi pekerjaannya. Banyaknya jam mengajar dapat
ditinjau dari aspek kuantitas (jumlah SKS yang berkaitan dengan waktu
efektif mengajar yang dilakukan dosen dalam perkuliahan) maupun aspek
kualitas (jenis mata kuliah yang harus diampu dosen dalam mengajar).
Keduanya sama-sama menguras waktu dan tenaga, sebab jenis mata kuliah
yang diampu menuntut persiapan materi sesuai dengan karakteristik

bidang ilmunya sedangkan jam mengajar yang padat memerlukan
persiapan fisik. Oleh karenanya jumlah jam mengajar yang dibebankan
kepada DP diprediksi dapat mempengaruhi kualitas layanan bimbingan.
(3) Jabatan yang Diemban
Jabatan yang diemban oleh DP diprediksi turut mempengaruhi kualitas
layanan bimbingan. Biasanya jabatan akan berdampak pada padatnya
tugas-tugas yang diemban DP, sehingga dapat menghambat kelancaran
layanan bimbingan. Namun hal tersebut tak selalu benar, sebab
berdasarkan penelusuran terhadap GP justeru DP yang mempunyai jabatan
dan sekaligus membimbing dapat mengelola tugas layanan bimbingan
secara tepat waktu dan terjadwal secara pasti. Oleh karenanya jabatan
yang diemban DP diprediksi dapat mempengaruhi kualitas layanan
bimbingan.
(h) Sikap Dosen Pembimbing
Sikap dan perilaku DP yang terbuka, sabar, bijaksana, dan ramah, dapat
menciptakan situasi bimbingan yang akrab dan kondusif. Situasi bimbingan
tersebut dapat memudahkan bagi CG untuk berkomunikasi dengan DP,
sehingga layanan bimbingan menjadi lebih efektif. Oleh karenanya sikap atau
perilaku DP diprediksi dapat mempengaruhi kualitas layanan bimbingan. .
4) Iklim Pembelajaran di LPTK
Iklim pembelajaran di LPTK diprediksi dapat mempengaruhi kualitas
layanan bimbingan DP. Jika iklim pembelajaran di LPTK terus-menerus
menekankan pada proses belajar mengajar yang berorientasi pada keterampilan

IPA, maka DP akan terdorong untuk menerapkannya dalam layanan bimbingan
praktik mengajar di sekolah. Meski tak selamanya benar, namun berdasarkan
pengalaman dan pengamatan CG akan mengajar seperti yang dilakukan oleh
dosennya. Dalam penelitiannya Suharto (1990) menemukan bahwa terdapat
hubungan yang kuat antara perencanaan penyiapan CG dengan kemampuan
penampilan lulusan IKIP Bandung. Oleh karenanya iklim pembelajaran di LPTK
dapat mempengaruhi kualitas layanan bimbingan.
5) “Reward” untuk Dosen Pembimbing
“Reward” dalam bentuk penghargaan dari pihak LPTK kepada DP atas
dedikasinya melaksanakan tugas bimbingan PPL dapat berupa insentif bagi DP,
nilai angka kredit untuk kenaikan pangkat dan golongan DP, dan untuk
kepentingan penelitian. Meski tugas membimbing PPL merupakan bagian integral
dari tugas pengajaran DP, tetapi besarnya insentif diperlukan sebagai pendukung
dalam melakukan tugas layananan bimbingan ke sekolah sehingga diprediksi turut
mempengaruhi layanan bimbingan. Selain itu kepada DP biasanya juga diberikan
bentuk penghargaan lain berupa nilai angka kredit untuk keperluan kenaikan
pangkat dan golongan sehingga menjadi salah satu pendorong bagi DP dalam
melakukan tugas bimbingannya tersebut. Tugas membimbing PPL dapat juga
dimanfaatkan oleh DP sebagai wahana penelitian, baik untuk kepentingan
pengembangan profesi maupun untuk kepentingan proyek-proyek penelitian yang
dibiayai oleh sponsor.

6) Motivasi Dosen Pembimbing
Motivasi DP sangat berpengaruh terhadap kualitas layanan bimbingan
kepada CG. DP yang memiliki motivasi tinggi akan melaksanakan tugas layanan
bimbingannya dengan penuh tanggung jawab dan senantiasa melakukan inovasi
untuk peningkatan kualitas layanan bimbingannya.
b. SEKOLAH
Sekolah sebagai institusi tempat calon guru IPA melaksanakan kegiatan
praktik mengajar. Winitzky, et.al (1992) menemukan adanya hubungan yang
signifikan antara program pendidikan guru dengan sekolah tempat CG berlatih.
Komponen sekolah yang turut berpengaruh terhadap kualitas layanan bimbingan
praktik mengajar IPA meliputi: Kurikulum sekolah, fasilitas pembelajaran, kepala
sekolah, GP, iklim pembelajaran, media bimbingan, siswa, “reward” untuk GP, dan
motivasi GP.
1) Kurikulum Sekolah
Kurikulum Pendidikan IPA termasuk di dalamnya GBPP IPA biologi,
kualitas isi, kelengkapan, pemanfaatan, dan pemahaman guru terhadap isinya
dapat mempengaruhi kualitas layanan bimbingan yang diberikan GP kepada CG.
2) Fasilitas Sekolah
Fasilitas Sekolah berupa sarana dan prasarana pendukung layanan
bimbingan praktik mengajar IPA yang meliputi: laboratorium IPA, media
pembelajaran IPA, dan halaman sekolah. Jarolimek (1977) menyatakan bahwa:
“The effective use of any instructional materials, therefore depends on
professionally competent teacher”. Sarana dan prasarana pembelajaran tersebut

berfungsi sebagai sarana pembelajaran yang dapat membantu GP dalam
melakukan layanan bimbingan praktik mengajar IPA kepada CG. Oleh karenanya
ketersediaan kedua fasilitas tersebut diprediksi kuat dapat berpengaruh terhadap
peningkatkan kualitas layanan bimbingan DP kepada CG dalam praktik mengajar
IPA di sekolah.
3) Kepala Sekolah
Kepala Sekolah sangat besar perannya dalam mendukung kelancaran
layanan bimbingan yang diberikan pembimbing kepada CG di sekolah. Parkay &
Stanford (1998:23 – 24) menyatakan: ‘Principal is one of the external factors in
teaching process”. Otoritas dan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh
kepala sekolah dapat membantu peningkatan kualitas layanan bimbingan praktik
mengajar IPA di sekolah misalnya: pemberian kemudahan-kemudahan atau
kepedulian, perizinan, bantuan penyediaan sarana dan prasarana layanan
bimbingan praktik mengajar.
4) Guru Pamong
Hubungan antara mahasiswa praktikan PPL dengan GP diistilahkan
sebagai “keponakan dengan tante” (Meirawan, 2002). Oleh karenanya meski
jalinan hubungan yang terbina diantara keduanya berlangsung relatif singkat,
tetapi karena dilakukan secara terus menerus maka hubungan komunikasi yang
terjalin antra keduanya tampak lebih “intim” daripada hubungannya dengan DP
yang sesungguhnya sudah terjalin lebih lama yaitu sejak mereka menjadi
mahasiswa LPTK. Faktor internal GP yang diperkirakan dapat mempengaruhi
layanan bimbingan meliputi: pengalaman mengajar bidang studi, pengalaman

membimbing PPL, pengalaman terlibat dalam pelatihan & pendidikan,
pengalaman terlibat dalam penelitian dengan LPTK, kualifikasi GP, beban tugas,
dan sikap atau perilaku GP.
(a) Pengalaman Mengajar Bidang Studi di Sekolah
Pengalaman mengajar bidang studi khususnya IPA biologi di sekolah dapat
mempengaruhi kualitas layanan bimbingan. Pengalaman tersebut sangat
membantu GP dalam memberikan layanan bimbingan, sebab pada dasarnya
materi bimbingan dalam kegiatan praktik mengajar serupa dengan yang
dilakukan GP dalam tugas pengajaran sehari-hari di sekolah. Hasil penelitian
Sobari, dkk. (1998) menunjukkan terdapat perbedaan unjuk kerja GP yang
berarti dilihat dari latar pengalaman kerjanya. GP yang berpengalaman
mengajar > 3,5 tahun dapat membantu siswa dalam mengatasi berbagai
kesulitan meliputi: kesulitan akademis, kesulitan sosial, maupun dalam
memotivasi siswa secara lebih baik dibandingkan dengan GP yang
berpengalaman mengajar 0 hingga 3,5 tahun.
(b) Pengalaman Membimbing PPL
Pengalaman GP dalam membimbing PPL dapat membantu GP dalam
memahami karakter dan kebutuhan CG, sehingga layanan bimbingan yang
diberikan menjadi lebih efektif karena sesuai dengan yang dibutuhkan CG.
Oleh karenanya pengalaman membimbing PPL diprediksi kuat dapat
mempengaruhi kualitas layanan bimbingan GP.

(c) Pengalaman Pelatihan dan Pendidikan IPA
Pengalaman GP terlibat dalam pelatihan dan pendidikan terkait dengan
kegiatan bimbingan praktik mengajar IPA bagi CG. Pengalaman tersebut di
atas diprediksi turut mempengaruhi kualitas layanan bimbingan yang
diberikan kepada CG.
(d) Pengalaman Terlibat dalam Penelitian dengan LPTK
Pengalaman dan wawasan yang diperoleh GP selama berkolaborasi dengan
dosen LPTK dapat diberikan kepada CG yang dibimbingnya. Oleh karenanya
pengalaman GP terlibat penelitian dengan LPTK diprediksi dapat
mempengaruhi kualitas layanan bimbingan.
(e) Kualifikasi Pendidikan
Kualifikasi Pendidikan GP meliputi: latar belakang keilmuan dan tingkat
pendidikan.
(1) Latar Belakang Bidang Studi
Latar belakang keilmuan yang dimiliki oleh GP berupa kesesuaian antara
latar belakang bidang studi dengan bidang studi yang diajarkan.
Kesesuaian tersebut di atas berkaitan erat dengan pola berpikir,
pengetahuan, wawasan, serta perilaku GP, sehingga diprediksi dapat
berpengaruh terhadap kualitas layanan bimbingannya. Sebaliknya, adanya
ketidak sesuaian antara latar belakang keilmuan dengan mata pelajaran
yang diajarkan dapat berdampak pada keanekaragaman persepsi. Hasil
penelitian Sobari, dkk. (1998) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
unjuk kerja GP dilihat dari latar belakang pendidikannya. Dengan

demikian latar belakang keilmuan yang dimiliki GP diprediksi dapat
mepengaruhi kualitas layanan bimbingan.
(2) Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan yang dimiliki oleh GP berupa jenjang pendidikan
yang telah ditempuh oleh GP (D3, S1, atau S2). Tingkat pendidikan
berkaitan dengan wawasan dan pengetahuan, sehingga diprediksi dapat
mempengaruhi kualitas layanan bimbingan.
(f) Beban Tugas
Beban Tugas yang diemban GP baik tugas pengajaran (jumlah jam mengajar),
jabatan (staf kurikulum, pengurus organisasi: MGMP) maupun tugas-tugas di
luar pengajaran (misalnya pengurus koperasi atau perpustakaan). Ketiga aspek
tersebut diprediksi banyak berpengaruh terhadap kualitas layanan bimbingan
yang diberikan GP kepada CG terutama berkenaan dengan waktu layanan
bimbingan yang dapat diberikan kepada CG, sehingga dapat mempengaruhi
efektivitas layanan bimbingan.
(g) Sikap Guru Pamong
Sikap atau perilaku GP yang terbuka, sabar, bijaksana, dan hangat dapat
menciptakan situasi bimbingan yang akrab dan kondusif. Terciptanya situasi
bimbingan yang kondusif tersebut memudahkan bagi CG untuk
berkomunikasi dengan lancar, sehingga layanan bimbingan yang diberikan
kepada CG dapat lebih efektif. Oleh karenanya sikap atau perilaku GP
diprediksi dapat mempengaruhi kualitas layanan bimbingan.

5) Iklim Pembelajaran
Iklim pembelajaran di sekolah berkaitan dengan situasi pembelajaran yang
biasa diciptakan oleh GP di sekolah. Hasil pengamatan (Suciati, 2002)
menunjukkan bahwa pola pembelajaran IPA yang dibimbingkan oleh GP
cenderung akan.sama dengan pola pengajaran sehari-hari yang cenderung kurang
menekankan pada keterampilan IPA. Oleh karenanya iklim pembelajaran di
sekolah diprediksi kuat dapat mempengaruhi kualitas layanan bimbingan yang
diberikan GP kepada CG bimbingannya.
6) Media Bimbingan
Media Bimbingan yang digunakan dalam kegiatan layanan bimbingan
berupa rancangan pembelajaran (Satpel, Renpel) yang akan dijadikan sebagai
acuan dalam kegiatan praktik mengajar, sehingga kualitasnya diprediksi dapat
berpengaruh pada kualitas layanan bimbingan yang diberikan kepada CG. Oleh
karenanya media pembelajaran di sekolah diprediksi sangat strategis untuk
dijadikan mediator bagi peningkatan kualitas kinerja CG dalam mengajar IPA.
7) Siswa
Siswa yang menjadi subyek pembelajaran yang dilakukan oleh CG di
sekolah memiliki kemampuan, keterampilan, motivasi, sikap atau perilaku. Siswa
yang memiliki kemampuan memahami konsep-konsep IPA dan keterampilan IPA
yang tinggi akan memudahkan bagi CG dalam melakukan pembelajaran,
sebaliknya siswa yang kemampuan penguasaan dan keterampilannya kurang akan
menyulitkan bagi CG dalam melakukan pembelajaran sehingga CG membutuhkan
layanan bimbingan ekstra dari pembimbing. Sikap dan perilaku siswa (mudah

diajak bekerjasama, sopan, aktif dan responsif dapat menciptakan situasi
pembelajaran yang aktif dan kondusif sehingga memudahkan CG dalam
mengelola kelasnya, sebaliknya sikap atau perilaku yang tidak kondusif
membutuhkan layanan bimbingan khusus dari pembimbing. Oleh karenanya
kondisi siswa diprediksi dapat mempengaruhi kualitas layanan bimbingan.
8) “Reward” untuk Guru Pamong
Reward berupa penghargaan dari pihak sekolah kepada GP atas
dedikasinya melaksanakan tugas bimbingan PPL dapat berupa nilai angka kredit
untuk kenaikan pangkat dan golongan maupun honor (insentif). Meski tugas
membimbing PPL dapat juga dimanfaatkan oleh GP dalam memperoleh nilai
angka kredit untuk keperluan kenaikan pangkat dan golongan, umumnya kurang
berpengaruh dalam melakukan tugas layanan bimbingan kepada CG. Berdasarkan
pengamatan (Suciati, 2002) tugas membimbing PPL bagi GP sangat
menyenangkan karena setidaknya dapat membantu mengurangi beban tugas
mereka, misalnya: menggantikan mengajar di kelas, mengoreksi ulangan,
membuat soal-soal ulangan. Dibandingkan dengan tanggung jawabnya dalam
tugas pembinaan terhadap CG, penghargaan dalam bentuk honor (insentif) yang
diterima oleh GP sebagai pembimbing PPL sesungguhnya jauh dari memadai.
Bagi GP dampak minimnya insentif sebagai pembimbing PPL hampir tidak
dirasakan oleh GP, sebab kegiatan layanan bimbingan dilakukan sebagai bagian
integral tugas pengajaran di sekolah sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya
transportasi.

9) Motivasi Guru Pamong
Motivasi GP sangat berpengaruh terhadap kualitas layanan bimbingan
kepada calon guru. GP yang memiliki motivasi tinggi akan melaksanakan tugas
layanan bimbingannya dengan penuh tanggung jawab dan senantiasa melakukan
inovasi untuk peningkatan kualitas layanan bimbingannya.
c. MAHASISWA PRAKTIKAN PPL (CALON GURU)
Mahasiswa praktikan PPL yaitu mahasiswa calon guru yang telah memenuhi
persyaratan administrasi dan akademik untuk mengikuti kegiatan PPL. Faktor internal
dari CG yang dapat mempengaruhi keberhasilan praktik mengajar yaitu: kemampuan,
motivasi, dan sikap atau perilaku.
1. Kemampuan Calon Guru
Kemampuan CG berupa kemampuan dalam memahami materi IPA dan
materi strategi belajar mengajar IPA. Kemampuan tersebut diaktualisasikan dalam
bentuk: hasil belajar materi IPA biologi, materi MKPBM, dan keterampilan
mengajar IPA. Kemampuan CG dalam tiga aspek tersebut memudahkan dalam
menguasai enam aspek keterampilan membuat persiapan mengajar IPA (meliputi:
membuat TPK, menyusun materi bahan ajar, menetapkan strategi pembelajaran,
menetapkan media pembelajaran, menetapkan alat evaluasi pembelajaran,
membuat pertanyaan produktif) dan dalam menguasai delapan aspek keterampilan
mengajar IPA (meliputi: membuka pelajaran, mengembangkan sikap guru dalam
pembelajaran, menyampaikan materi pembelajaran, mengelola pembelajaran,
menggunakan media pembelajaran, mengevaluasi pembelajaran, menggunakan

pertanyaan produktif dalam pembelajaran; menutup pelajaran), sehingga
mempermudah bimbingan yang diberikan oleh GP.
2. Motivasi Calon Guru
Motivasi CG meliputi motivasinya dalam melakukan kegiatan praktik
mengajar di sekolah. CG yang memiliki motivasi tinggi dalam melaksanakan
tugas pengajarannya akan membantu memperlancar layanan bimbingan yang
diberikan oleh pembimbing. Inovasi yang diberikan DP dan GP dapat direspon
dengan cepat oleh CG, sehingga peningkatan kualitas layanan bimbingan dapat
dengan mudah dilakukan oleh DP dan GP.
3. Sikap Calon Guru
Sikap atau perilaku CG yang positif seperti: komitmen yang tinggi, mau
bekerjasama, dan proaktif, sangat membantu DP dan GP dalam melakukan
layanan bimbingan praktik mengajar IPA.
4. Keterampilan Calon Guru
Keterampilan CG dalam mengajar IPA dapat mempengaruhi layanan
bimbingan dalam kegiatan praktik mengajar IPA. CG yang memiliki dasar
keterampilan mengajar IPA yang baik selain dapat mempermudah DP dan GP
dalam memberikan materi bimbingan juga memudahkan pembimbing dalam
mengeksporasi potensi CG yang dibimbingnya secara optimal.
II. Interaksi Antar Subyek Praktik Mengajar
1. Interaksi Dosen Pembimbing dengan Guru Pamong
Interaksi antara DP dan GP dimungkinkan karena kedua pihak merupakan
mitra dalam memberikan layanan bimbingan kepada CG yang dibimbingnya.

Idealnya kedua pihak dapat menjalin komunikasi baik secara formal maupun nonformal,
agar layanan bimbingan yang diberikan kepada CG dapat terpadu dan
lebih berkualitas. Perbedaan kondisi yang ada pada masing-masing pihak
seyogianya dapat saling mengisi demi terwujudnya suatu layanan bimbingan yang
efektif. Terjadinya ketidak selarasan antara DP dengan GP dalam memahami
komponen-komponen bimbingan dapat menimbulkan dampak yang negatif dan
tentunya akan sangat merugikan CG yang dibimbingnya. Hasil penelitian Wahyu,
dkk. (2001) menemukan bahwa adanya kolaborasi antara DP (pengajar MKPBM)
dengan GP dapat meningkatkan pemahaman CG terhadap profesi keguruan serta
dapat menyeimbangkan antara aspek teoritis dan empiris.
2. Interaksi Guru Pamong dengan Calon Guru
Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang memberikan layanan bimbingan
dan pihak yang dibimbing. interaksi antara GP dengan CG memiliki peran yang
sangat strategis, sebab frekuensi pertemuan diantara keduanya lebih sering
dibandingkan dengan DP. Idealnya antara GP dengan CG dapat menjalin
komunikasi baik secara formal maupun non-formal, agar kegiatan bimbingan
dapat berjalan secara efektif dan optimal. GP seyogianya memahami kebutuhan,
permasalahan maupun potensi yang dimiliki oleh CG yang dibimbingnya. GP
seyogianya dapat mengidentifikasi ketiga aspek (kebutuhan, permasalahan, dan
potensi) yang dimiliki oleh CG yang dibimbingnya, dan selanjutnya dapat
memberikan layanan dengan menggunakan strategi bimbingan yang tepat.
Dengan demikian layanan bimbingan yang diberikan kepada GP dapat benarbenar
sesuai dengan kebutuhan CG, sehingga menjadi efektif. Begitupula dengan

CG, seyogianya dapat memahami GP yang membimbingnya dengan baik.
Perbedaan, kekurangan maupun kelebihan yang ada pada masing-masing pihak
seyogianya dapat saling mengisi demi terwujudnya suatu layanan bimbingan yang
efektif. Terjadinya ketidak selarasan antara DP dengan GP dapat menimbulkan
dampak yang negatif dan tentunya akan sangat merugikan CG sendiri.
3. Interaksi Dosen Pembimbing dengan Calon Guru
Seperti halnya dengan GP, interaksi antara DP dan CG dalam kapasitasnya
sebagai pihak yang memberikan layanan bimbingan dan pihak yang dibimbing.
Oleh karena frekuensi pertemuan antara DP dan CG tidak sesering seperti dengan
GP, maka interaksi diantara keduanya agak sedikit berbeda baik ditinjau dari
hubungan psikologis maupun komunikasinya. Namun demikian idealnya antara
GP dengan CG dapat menjalin komunikasi baik secara formal maupun nonformal,
agar kegiatan bimbingan dapat berjalan secara efektif dan optimal. DP
seyogianya dapat mengelola keterbatasan waktu yang dimilikinya dalam
memberikan layanan bimbingan kepada CG yang dibimbingnya. DP seyogianya
tetap dapat memahami kebutuhan, permasalahan maupun potensi yang dimiliki
oleh CG yang dibimbingnya dan selanjutnya dapat memberikan layanan dengan
menggunakan strategi bimbingan yang tepat. Dengan demikian layanan
bimbingan yang diberikan kepada DP dapat benar-benar sesuai dengan kebutuhan
CG, sehingga menjadi efektif. Begitupula dengan CG, seyogianya dapat
memahami keterbatasan waktu yang dimiliki oleh DP dengan baik. Perbedaan,
kekurangan maupun kelebihan yang ada pada masing-masing pihak seyogianya
dapat saling mengisi demi terwujudnya suatu layanan bimbingan yang efektif.

Terjadinya ketidak selarasan antara DP dengan CG dapat menimbulkan dampak
yang negatif dan tentunya akan sangat merugikan bagi CG sendiri.
4. Interaksi Dosen Pembimbing, Guru Pamong, dan Calon Guru
Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa hakikat bimbingan adalah adanya
interaksi pembimbing dan CG. Artinya dalam kegiatan bimbingan idealnya terjadi
komunikasi tiga arah yakni antara DP, GP, dan CG. Namun demikian tidak berarti
seluruh tahapan kegiatan dalam praktik mengajar menuntut adanya interaksi
ketiga pihak tersebut sekaligus. Hal tersebut selain tidak mungkin dapat
dilakukan, juga kurang efisien bagi terwujudnya layanan yang optimal dan efektif.
Baik DP maupun GP seyogianya dapat mengelola frekuensi interaksinya sesuai
dengan kebutuhan. Begitu pula dengan CG seyogianya dapat menyesuaikan diri
dengan pembimbingnya. Jika diantara ketiga pihak dapat terjalin interaksi yang
baik, maka layanan bimbingan yang efektif dan optimal diyakini dapat terwujud.
Terjadinya ketidak harmonisan diantara ketiga pihak tersebut dapat menimbulkan
dampak yang negatif dan tentunya akan sangat merugikan semua pihak.

Bertolak dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa sedikitnya ada
dua permasalahan utama yang menjadi dasar pertimbangan dalam merumuskan
masalah penelitian ini yaitu berkenaan dengan: perbaikan daya dukung komponen
layanan bimbingan praktik mengajar IPA dan pengimplementasian model bimbingan
yang dikembangkan dalam penelitian ini pada kondisi pembimbing dengan kategori
yang bervariasi. Permasalahan pertama, berkaitan dengan upaya perbaikan daya
dukung komponen layanan bimbingan praktik mengajar IPA meliputi: materi
bimbingan, strategi bimbingan, prosedur bimbingan, media bimbingan, penilaian
bimbingan, serta interaksi bimbingan diantara subyek-subyek yang terlibat dalam
layanan bimbingan. (1) Menekankan dialog kemitraan diantara DP dan GP atau
antara DP, GP, dan CG, sehingga kesan sebagai “atasan” dan “bawahan” dapat
dihapus dan selanjutnya dapat tercipta situasi bimbingan yang lebih kondusif. (2)
Orientasi layanan bimbingan diarahkan pada penggunaan pendekatan eklektik yaitu
campuran antara pendekatan langsung (direktif) dan pendekatan tak langsung (nondirektif)
sesuai dengan tuntutan kebutuhan layanan bimbingan pada tahapan kegiatan
praktik mengajar IPA. Pendekatan langsung (direktif) diberikan pada awal kegiatan
bimbingan (tahap orientasi dan adaptasi) yaitu ketika kegiatan pemodelan
pembelajaran IPA oleh GP. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat langsung terjadi
perubahan perilaku pada CG, sebab kegiatan pemodelan merupakan bagian integral
dari tahapan kegiatan praktik mengajar IPA dan pengalaman terlibat langsung dalam
pembelajaran nyata di kelas merupakan hal baru bagi CG. Oleh karenanya sasaran

layanan bimbingan diarahkan pada upaya pemahaman dan pengentasan kepada CG
melalui pemberian bantuan terapi langsung berupa pemodelan. Sedangkan
pendekatan tak langsung (non-direktif) digunakan pada kegiatan inti (tahap
pengembangan yaitu ketika melatih keterampilan CG dalam mengajar IPA) dan ) dan
tahap akhir yaitu ketika kegiatan ujian PPL. Hal itu dimaksudkan agar terjadi
perubahan perilaku secara tak langsung pada CG, sebab sasaran layanan bimbingan
pada kegiatan tersebut lebih diarahkan pada upaya pengembangan dan pencegahan
(preventif). Oleh karenanya layanan bimbingannya lebih ditekankan pada upaya
optimalisasi eksplorasi dan penumbuhan potensi untuk meningkatkan keaktifan dan
kreativitas CG sehingga layanan bimbingan menjadi lebih efektif. (3) Menekankan
pada metode pemodelan bermakna yaitu pemberian acuan model rancangan
pembelajaran dan kegiatan mengajar IPA melalui pembelajaran berbasis siswa aktif
menggunakan model pembelajaran kooperatif agar lebih menarik, sehingga selain
dapat memberikan dampak peniruan yang lebih kompleks bagi CG juga dapat
meningkatkan motivasi dan kreativitas CG dalam kegiatan praktik mengajar. (4)
Menempuh prosedur layanan yang meliputi: identifikasi, analisis, diagnosis,
prognosis, terapi, dan tindak lanjut serta didukung dengan tampilan perilaku layanan
bimbingan tak langsung yaitu pengajuan pertanyaan yang didahului dengan
menggunakan empati, motivasi, ide dari klien. Prosedur tersebut dimaksudkan selain
agar sesuai dengan prinsip-prinsip bimbingan, untuk menumbuhkan potensi CG
secara optimal, juga dapat menimbulkan dampak perubahan perilaku positif pada CG,
sehingga dapat meningkatkan efektivitas layanan bimbingan. (5) Menekankan sistem
penilaian bimbingan secara dua arah yaitu ditujukan pada penilaian proses dan

produk bimbingan. Penilaian terhadap proses bimbingan didasarkan atas kumpulan
hasil kegiatan bimbingan yang telah diberikan GP kepada CG selama kegiatan praktik
mengajar sebagai input bagi upaya peningkatan kualitas layanan bimbingan.
Sedangkan penilaian terhadap produk bimbingan dilakukan oleh GP terhadap CG
untuk menilai penguasaan keterampilan CG dalam praktik mengajar IPA. (6)
Menyusun kegiatan bimbingan secara terprogram dan terencana dalam bentuk Satuan
Kegiatan Bimbingan (SKB) dan Rencana Kegiatan Bimbingan (RKB) untuk
memudahkan pencapaian tujuan bimbingan yang telah ditetapkan.
Permasalahan kedua, berkaitan dengan upaya pengembangan model
bimbingan praktik mengajar IPA dengan cara mengimplementasikan model
bimbingan yang dikembangkan dalam penelitian ini pada kondisi DP dan GP yang
bervariasi berkenaan dengan kualfikasi pendidikan, pengalaman mengajar sesuai
bidang studi, pengalaman membimbing PPL, serta pengalaman terlibat berkolaborasi
dalam penelitian LPTK-Sekolah. Dalam upaya penyempurnaan program PPL layanan
bimbingan praktik mengajar IPA di LPTK, kedua permasalahan tersebut di atas
dijadikan titik tolak dalam pengembangan model bimbingan praktik mengajar IPA.
Oleh karenanya penelitian ini difokuskan pada permasalahan tentang: “Bagaimana
model bimbingan praktik mengajar yang dapat meningkatkan keterampilan calon
guru dalam mengelola pembelajaran dan praktikum IPA berdasarkan standar
kompetensi guru IPA?”
Sejalan dengan rumusan masalah tersebut di atas dan agar lebih operasional,
selanjutnya diuraikan menjadi beberapa sub masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana disain model bimbingan yang dapat meningkatkan keterampilan calon
guru dalam mengelola pembelajaran dan praktikum IPA berdasarkan standar
kompetensi guru IPA?
2. Bagaimana hasil pengembangan model bimbingan secara bertahap terhadap
layanan bimbingan, keterampilan calon guru dalam mengelola pembelajaran dan
praktikum IPA berdasarkan standar kompetensi guru IPA?
3. Bagaimana perbandingan efektivitas antara model bimbingan yang dikembangkan
dengan model bimbingan yang sudah ada terhadap peningkatan keterampilan
calon guru dalam mengelola pembelajaran dan praktikum IPA berdasarkan
standar kompetensi guru IPA?
4. Bagaimana respon calon guru dan siswa terhadap implementasi model bimbingan
yang dikembangkan?
5. Kendala-kendala apa yang dijumpai dalam implementasi model bimbingan yang
dikembangkan?
6. Karakteristik apa saja yang menunjukkan keunggulan dan keterbatasan model
bimbingan yang dikembangkan berdasarkan hasil implementasinya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas dan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip bimbingan praktik mengajar IPA, mengacu pada hakikat pengajaran
IPA selanjutnya dikembangkan suatu model bimbingan praktik mengajar IPA yang
efektif dengan pendekatan eklektik dan pemodelan bermakna untuk meningkatkan
keterampilan CG dalam praktik mengajar IPA dengan melakukan serangkaian
kegiatan sebagai berikut:

I. Menyusun komponen Model Bimbingan dengan mengacu pada enam
komponen bimbingan
1. Tujuan bimbingan: diarahkan pada tujuan bimbingan Umum (TBU) dan
tujuan bimbingan khusus (TBK) sesuai dengan tahapan kegiatan bimbingan
praktik mengajar IPA. TBK diarahkan pada dua aspek yang meliputi: (1)
penguasaan enam aspek keterampilan membuat persiapan mengajar IPA
(membuat TPK, menyusun bahan ajar, menentukan strategi pembelajaran,
menentukan media pembelajaran, menetapkan evaluasi pembelajaran,
membuat pertanyaan produktif); dan (2) penguasaan delapan aspek
keterampilan mengelola pembelajaran dan praktikum IPA (membuka
pelajaran, mengembangkan sikap dalam PBM, menguasai bahan ajar,
mengelola kelas, menggunakan media pembelajaran, melakukan evaluasi
pembelajaran, menggunakan teknik bertanya melalui pertanyaan produktif,
dan menutup pelajaran)
2. Materi bimbingan: (1) diarahkan pada pembelajaran IPA yang menekankan
pada layanan bimbingan melalui pembelajaran berbasis siswa aktif sesuai
dengan tahapan kegiatan bimbingan praktik mengajar IPA. (2)
menggambarkan adanya peningkatan peran aktif CG dan penurunan
keterlibatan DP dan GP dalam tahapan kegiatan praktik mengajar IPA.
3. Strattegi bimbingan: diarahkan pada penggunaan pendekatan eklektik dan
metode pemodelan bermakna. Pendekatan eklektik yaitu campuran antara
pendekatan langsung (direktif) dan pendekatan tak langsung (non-direktif)
sesuai dengan tuntutan kebutuhan tahapan kegiatan bimbingan praktik

mengajar IPA. Pendekatan direktif yaitu layanan bimbingan dengan tampilan
perilaku bimbingan melalui pengajuan pertanyaan secara langsung disertai
dengan penjelasan, arahan, kritikan dan pemberian saran kepada CG.
Sedangkan pendekatan non-direktif yaitu layanan bimbingan dengan tampilan
perilaku bimbingan melalui pengajuan pertanyaan yang didahului dengan
penggunaan empati, motivasi, dan ide klien. (La Sulo, dkk., 1998:12). Metode
pemodelan bermakna diarahkan pada penggunaan model pembelajaran IPA
berbasis siswa aktif melalui model pembelajaran kooperatif.
4. Prosedur bimbingan: langkah-langkah bimbingan pada setiap tahapan
kegiatan praktik mengajar IPA disesuaikan dengan prinsip-prinsip bimbingan
yang terdiri atas enam langkah meliputi: identifikasi, analisis, diagnosis,
prognosis, terapi, dan tindak lanjut (Prayitno dan Amti, 1999:299-300).
5. Media bimbingan: diarahkan pada penyediaan instumen pendukung layanan
bimbingan praktik mengajar IPA untuk setiap tahapan kegiatan praktik
mengajar IPA berupa: Satuan Kegiatan Bimbingan (SKB), Rencana Kegiatan
Bimbingan (RKB), dan Format Penilaian Kinerja (FPK).
6. Evaluasi bimbingan: diarahkan pada sistem penilaian bimbingan secara dua
arah yaitu terhadap proses dan produk bimbingan setiap tahapan kegiatan
praktik mengajar IPA. Penilaian proses bimbingan ditujukan pada kualitas
layanan bimbingan yang diberrikan GP kepada CG, sedangkan penilaian
produk bimbingan ditujukan pada penguasaan keterampilan CG dalam praktik
mengajar IPA.

II. Mengimplementasikan MBEP dalam kegiatan bimbingan praktik mengajar
IPA pada kategori pembimbing yang bervariasi
1. Pembimbing kategori I: adalah tipe pasangan DP dan GP yang diprediksi
memiliki karakter yang cenderung dapat memperkuat kinerja CG dengan
cepat yaitu DP dan GP yang memiliki kataegori: (1) DP maupun GP berlatar
belakang bidang studi: pendidikan biologi; (2) Tingkat pendidikan GP
(minimal S1) dan DP (minimal S2); (3) Berpengalaman mengajar bidang studi
IPA biologi (>3 tahun); (4) Berpengalaman terlibat dalam kolaborasi
penelitian LPTK – Sekolah (> 2 tahun).
2. Pembimbing kategori II: adalah tipe pasangan DP dan GP yang diprediksi
memiliki karakter cenderung dapat memperkuat kinerja CG apabila terdapat
kondisi tertentu (karakter plus lain selain yang telah ditetapkan dalam kategori
dan diprediksi dapat berkaitan dan dapat mendukung kinerja DP dan GP
tersebut misalnya: pengalaman membimbing PPL, pengalaman mengajar lain,
prestasi di bidang pendidikan) yaitu tipe pasangan DP dan GP yang memiliki
kataegori: (1) DP maupun GP berlatar belakang bidang studi: pendidikan
biologi; (2) Tingkat pendidikan GP (minimal D3) dan DP (minimal S1 atau
sedang S2); (3) Berpengalaman mengajar bidang studi IPA biologi (2 tahun
hingga 3 tahun); (4) Berpengalaman terlibat dalam kolaborasi penelitian
LPTK – Sekolah (1 tahun hingga 2 tahun).
3. Pembimbing kategori III: adalah tipe pasangan DP dan GP yang diprediksi
memiliki karakter cenderung dapat memperkuat kinerja CG tetapi
membutuhkan waktu adaptasi relatif lama (misalnya: dapat menerapkan

seluruh komponen model namun memerlukan waktu relatif lama) tipe
pasangan DP dan GP yang memiliki kategori: (1) DP maupun GP berlatar
belakang bidang studi: biologi murni atau pendidikan biologi; (2) Tingkat
pendidikan GP (D3) dan DP (S1); (3) Berpengalaman mengajar bidang studi
IPA biologi (< 2 tahun); (4) Berpengalaman terlibat dalam kolaborasi
penelitian LPTK – Sekolah (belum pernah atau < 1 tahun).
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum Penelitian
Bertolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka
tujuan umum penelitian ini adalah menghasilkan suatu model bimbingan praktik
mengajar yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan calon guru dalam
mengelola pembelajaran dan praktikum IPA berdasarkan standar kompetensi guru
IPA.
2. Tujuan Khusus Penelitian
a. Menemukan model bimbingan praktik mengajar IPA meliputi model disain
perencanaan, model disain implementasi, model disain evaluasi yang dapat
meningkatkan keterampilan CG dalam dalam mengelola pembelajaran dan
praktikum IPA berdasarkan standar kompetensi guru IPA sebagai upaya
meningkatkan kualitas PPL di LPTK.
b. Menemukan tingkat keberhasilan penggunaan model bimbingan praktik
mengajar IPA yang dikembangkan dalam penelitian ini pada DP dan GP
dengan kategori yang bervariasi (kategori I, II, III) sebagai model bimbingan
65
hasil pengembangan, terhadap tujuan bimbingan praktik mengajar IPA baik
dalam melatih penguasaan enam (6) aspek keterampilan CG dalam membuat
persiapan pembelajaran dan praktikum IPA maupun dalam melatih
penguasaan delapan (8) aspek keterampilan CG dalam mengelola
pembelajaran dan praktikum IPA berdasarkan standar kompetensi guru IPA.
c. Menemukan efektivitas model bimbingan praktik mengajar IPA sebagai
model bimbingan hasil pengembangan dibandingkan dengan model
bimbingan praktik mengajar IPA yang selama ini digunakan dalam kegiatan
praktik mengajar di LPTK.
d. Menemukan kendala-kendala yang dijumpai dalam implementasi model
bimbingan praktik mengajar IPA sebagai model bimbingan hasil
pengembangan.
e. Menemukan karakteristik yang menunjukkan keunggulan dan keterbatasan
model bimbingan praktik mengajar IPA sebagai model bimbingan hasil
pengembangan berdasarkan hasil implementasinya.
D. MANFAAT PENELITIAN
Seperti telah dipaparkan dalam uraian terdahulu, model bimbingan praktik
mengajar IPA yang dikembangkan dalam penelitian ini secara strategis dimaksudkan
untuk menjawab kebutuhan layanan bimbingan yang belum terakomodasi pada
model bimbingan praktik mengajar IPA yang ada sebelumnya. Dengan ditemukan
model bimbingan praktik mengajar IPA yang sesuai dengan kondisi di lapangan,
66
secara teoritis diharapkan dapat menghasilkan dalil-dalil atau prinsip-prinsip dalam
membangun konstruksi layanan bimbingan praktik mengajar IPA di LPTK.
Di samping manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
secara praktis bagi pihak-pihak yang terkait sebagai berikut
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
LPTK pada umumnya dan khususnya bagi pihak Jurusan FPMIPA dan pihak
UPT PPL, untuk perbaikan kualitas PPL IPA terutama dalam pemberian layanan
bimbingan praktik mengajar dalam rangka meningkatkan keterampilan CG dalam
mengajar IPA.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi sekolah mitra PPL
khususnya bagi Kepala Sekolah, untuk perbaikan kualitas layanan bimbingan
praktik mengajar IPA dalam rangka meningkatkan keterampilan CG dalam
mengelola pembelajaran dan praktikum IPA berdasarkan standar kompetensi
guru IPA.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi inspirasi bagi pihak LPTK dan
pihak sekolah mitra dalam meningkatkan kerjasama yang lebih terpadu dalam
rangka menciptakan suatu layanan bimbingan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
pembinaan dan hakikat praktik mengajar IPA yang berlaku.
4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para pembimbing
PPL (DP dan GP) dan pihak-pihak yang terkait di dalamnya untuk meningkatkan
kualitas kinerja bimbingannya kepada CG yang dibimbingnya.
67
5. Model bimbingan praktik mengajar IPA yang yang dikembangkan dalam
penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi DP, GP maupun CG dalam
merancang kegiatan bimbingan praktik mengajar IPA.
6. Temuan-temuan hasil pengembangan model bimbingan praktik mengajar IPA
yang dikembangkan dalam penelitian ini diharapkan dapat mendorong para
peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan dalam rangka meningkatkan
kualitaslayanan bimbingan kepada CG di LPTK.
E. DEFINISI OPERASIONAL
Untuk menghindari kesalahan dalam penafsirannya, maka dalam penelitian
ini ada empat istilah yang perlu didefinisikan yaitu: (1) model bimbingan praktik
mengajar IPA dengan pendekatan eklektik dan pemodelan bermakna (MBEP); (2)
keterampilan CG dalam mengelola pembelajaran dan praktikum IPA; (3) hasil
belajar siswa; (4) Satuan Kegiatan Bimbingan (SKB); (5) Rencana Kegiatan
Bimbingan (RKB); (6) Format Penilaian Kinerja (FPK); (7) Dosen Pembimbing; (8)
Guru Pamong; dan (9) Standar Kompetensi Guru IPA.
1. Model Bimbingan dengan Pendekatan Eklektik dan Pemodelan (MBEP)
dalam Praktik Mengajar IPA
MBEP adalah suatu model bimbingan praktik mengajar IPA yang
merupakan modifikasi dari model bimbingan praktik mengajar IPA yang sudah
ada sebelumnya sehingga komponen-komponen modelnya memiliki karakteristik
khas. a) materi bimbingan menekankan pada keterampilan mengelola
pembelajaran dan praktikum IPA berbasis siswa aktif; b) strategi bimbingan
68
menggunakan pendekatan eklektik dan metode pemodelan bermakna; c) prosedur
bimbingan mengikuti prinsip-prinsip layanan bimbingan yang meliputi:
identifikasi, analisis, diagnosis, prognosis, terapi, dan tindak lanjut dengan
menampilkan perilaku bimbingan melalui pengajuan pertanyaan tak langsung
yang didahului penggunaan empati, motivasi dan ide dari klien; d) media
bimbingan meliputi: SKB, RKB, Satpel & Renpel, kegiatan PBM; e) evaluasi
bimbingan secara dua arah yang ditujukan pada proses dan produk bimbingan.
2. Keterampilan Calon Guru dalam Megelola Pembelajaran dan Praktikum
IPA
Keterampilan CG dalam mengelola pembelajaran dan praktikum IPA
meliputi penguasaan CG terhadap aspek-aspek mengajar IPA yang meliputi dua
hal: (a) penguasaan enam aspek keterampilan membuat persiapan pembelajaran
dan praktikum IPA yang meliputi keterampilan: membuat TPK, menyusun materi
bahan ajar, menetapkan strategi pembelajaran, menetapkan media pembelajaran,
menetapkan evaluasi pembelajaran, dan membuat pertanyaan produktif. (b)
penguasaan delapan aspek keterampilan mengimplementasikan pembelajaran dan
praktikum IPA yang meliputi keterampilan: membuka pelajaran, menyampaikan
materi pembelajaran, mengembangkan sikap dalam PBM, mengelola kelas,
menggunakan media pembelajaran, mengevaluasi pembelajaran, menggunakan
pertanyaan produktif dalam pembelajaran, dan menutup pelajaran. Kompetensi
CG dalam mengajar IPA umumnya dilihat dari kemampuan CG dalam membuat
rancangan pembelajaran dan kemampuan menerapkannya dalam PBM. Oleh
69
karenanya penguasaan dua aspek keterampilan mengajar tersebut di atas
merupakan sasaran utama bagi peningkatan kinerja CG.
3. Hasil belajar siswa
Hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA berkenaan dengan nilai
ulangan harian siswa dalam mata pelajaran IPA biologi yang diselanggarakan
oleh CG dalam kegiatan praktik mengajar di sekolah.
4. Satuan Kegiatan Bimbingan (SKB)
Satuan kegiatan yang memuat keseluruhan rencana kegiatan bimbingan
untuk satu periode kegiatan PPLK yang meliputi 16 x tatap muka (sesuai dengan
jumlah tatap muka minimal yang dipersyaratkan berdasarkan Buku Panduan
PPLK) yang terbagi dalam lima tahapan kegiatan bimbingan yaitu: Tahap
Persiapan PBM (T1), Tahap PBM Terbimbing (T2), Tahap PBM Mandiri (T3),
Tahap PBM Bebas (T4), dan Tahap Ujian PPL (T5).
5. Rencana Kegiatan Bimbingan (RKB)
Rencana kegiatan bimbingan untuk setiap kegiatan praktik mengajar (T1
s/d T%) yang meliputi tujuan khusus bimbingan, materi bimbingan, strategi
bimbingan, langkah-langkah kegiatan bimbingan, media bimbingan, dan evaluasi
bimbingan.
6. Format Penilaian Kinerja (FPK)
Instrumen evaluasi produk bimbingan praktik mengajar IPA ditujukan
untuk mengetahui sejauh mana penguasaan keterampilan CG dalam mengelola
pembelajaran dan praktikum IPA berdasarkan standar kompetensi guru IPA
dengan menggunakan format penilaian produk bimbingan (F01 dan F02).
70
Evaluasi proses bimbingan ditujukan untuk mengetahui sejauh mana hasil
bimbingan yang diberikan DP atau GP terhadap CG dalam praktik mengajar IPA
yang diperoleh melalui melalui pengamatan, wawancara dan studi dokumen hasil
penilaian tugas, hasil koreksi tugas, hasil konsultasi, kritik dan saran baik secara
lisan maupun tertulis selama kegiatan bimbingan dengan menggunakan format
penilaian proses bimbingan (F03).
7. Dosen Pembimbing
DP terutama berkenaan dengan empat hal meliputi: 1) kualifikasi
pendidikan (latar belakang pendidikan dan tingkat pendidikan); 2) pengalaman
(pengalaman mengajar bidang studi IPA biologi; 3) pengalaman membimbing
PPL; dan 4) pengalamannya terlibat dalam penelitian dengan LPTK-Sekolah).
Aspek-aspek tersebut di atas dapat memperkaya pengetahuan, wawasan, pola
berpikir, sehingga akan berdampak pada pola bimbingan dan pola perilaku
membimbingnya. Oleh karenanya faktor-faktor internal DP tersebut di atas
diprediksi dapat mempengaruhi kualitas layanan bimbingan yang diberikan DP
kepada CG, sehingga menjadi fokus dalam penelitian ini.
8. Guru Pamong
GP berkenaan dengan empat hal yaitu: 1) kualifikasi pendidikan (latar
belakang bidang studi, tingkat pendidikan); 2) pengalaman (pengalaman mengajar
bidang studi IPA biologi; 3) pengalaman membimbing PPL; dan 4)
pengalamannya terlibat dalam penelitian dengan LPTK-sekolah). Aspek-aspek
tersebut di atas setidaknya dapat menambah pengetahuan, wawasan, pola berpikir,
sehingga akan berdampak pada pola bimbingan dan pola perilaku GP dalam
71
membimbing CG di sekolah. Oleh karenanya faktor-faktor internal GP tersebut di
atas diprediksi kuat dapat mempengaruhi kualitas layanan bimbingan, sehingga
menjadi fokus dalam penelitian ini.
9. Standar Kompetensi Guru IPA
Standar kompetensi guru IPA adalah acuan penentuan ambang batas dan
gradasi kemampuan guru IPA jenjang studi SMP, merupakan kemampuan yang
harus dimiliki dan dapat dilakukan yang terlihat khususnya melalui atribut
keterampilan sesuai tuntutan kemampuan yang dipersyaratkan sebagai guru IPA
khususnya dalam latihan keterampilan dalam pembelajaran di kelas yang diarahkan
pada: kompetensi akademik, kompetensi pengembangan sikap guru, dan
kompetensi keterampilan mengajar berdasarkan standar kompetensi guru IPA.
Ketiga kompetensi tersebut selanjutnya dijabarkan dalam kriteria keterampilan
sesuai Pedoman Pedoman PPL UPI (2000) meliputi enam keterampilan membuat
persiapan mengelola pembelajaran dan praktikum IPA (membuat TPK, menyusun
materi pelajaran IPA, memilih dan menetapkan strategi pembelajaran IPA, memilih
dan menetapkan media pembelajaran IPA, memilih dan menetapkan evaluasi
pembelajaran IPA, dan membuat pertanyaan produktif) dan delapan keterampilan
praktik pengelolaan pembelajaran dan praktikum IPA (membuka pelajaran,
menyampaikan materi pelajaran, mengembangkan sikap dalam pembelajaran,
mengelola pembelajaran, menggunakan media dalam pembelajaran, mengevaluasi
pembelajaran, menggunakan pertanyaan produktif dalam pembelajaran, dan
menutup pelajaran). Standar kompetensi ditetapkan menggunakan skala nilai 0 – 4
dengan kriteria aspek keterampilan berdasarkan Pedoman PPL UPI (2000).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar